Prinsip 2. Fokus Kompetensi dan Karakter pada Kurikulum Merdeka

Fokus Kompetensi dan Karakter Prinsip Kurikulum Merdeka

Madrasahdigital.net. Prinsip Perancangan Kurikulum Merdeka yang kedua di kajian Akademik adalah Fokus Kompetensi dan Karakter. Hal ini tidak berbeda dengan kurikulum sebelumnya, baik kurikulum 2013 maupun kurikulum 2006.


Prinsip Perancangan Fokus Kompetensi dan Karakter

Sejalan dengan prinsip sederhana di mana kebijakan dan praktik baik dilanjutkan, Kurikulum Merdeka juga melanjutkan cita- cita kurikulum-kurikulum sebelumnya untuk berfokus pada pengembangan kompetensi dan karakter.

Istilah “fokus” memiliki makna memusatkan perhatian pada materi pelajaran atau konten yang lebih sedikit jumlahnya agar pembelajaran dapat lebih mendalam dan lebih berkualitas (OECD, 2020a).

Prinsip ini menjadi penting karena di banyak negara berkembang masalah pembelajaran umumnya terjadi karena kurikulum yang terlalu ambisius, yaitu kurikulum yang padat akan materi- materi pelajaran sehingga harus diajarkan dengan cepat (“too much, too fast”).

Kajian yang dilakukan Pritchett dan Beatty (2015) menunjukkan bahwa di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, materi pelajaran yang begitu padat membuat guru terus bergerak cepat menyelesaikan bab demi bab, konsep demi konsep, tanpa memperhitungkan kemampuan siswa memahami konsep yang telah dipelajarinya.

Menurut temuan mereka, hal ini bukan karena guru tidak menghiraukan kemampuan anak dalam belajar, tetapi karena mereka dituntut untuk menuntaskan materi ajar.

1. Mengurangi materi atau konten kurikulum

Mengurangi materi atau konten kurikulum merupakan arah reformasi kurikulum di banyak negara. Faktor pendorongnya sama, yaitu padatnya kurikulum yang berdampak pada rendahnya kompetensi dan kesejahteraan diri (wellbeing) peserta didik (OECD, 2020b).

Alasan utama terjadinya kurikulum yang semakin lama semakin padat adalah tuntutan terhadap kurikulum untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tantangan yang semakin kompleks.

Seringkali isu-isu kontemporer seperti perkembangan teknologi digital, pemanasan global dan kerusakan lingkungan, kekerasan antar kelompok sosial, dan isu-isu lainnya direspon dengan cara menambah bab dalam buku teks, target capaian dalam standar, bahkan menambah mata pelajaran.

Akibatnya kurikulum semakin padat dan guru justru mengalami kesulitan untuk menerapkan pembelajaran yang lebih sesuai untuk menguatkan dan mengembangkan kompetensi.

Dengan mempelajari masalah kepadatan kurikulum di berbagai konteks, perancangan kurikulum dilakukan dengan prinsip fokus pada kompetensi dan karakter tanpa menambah beban materi pelajaran ataupun waktu belajar peserta didik.

Strategi yang dipilih adalah dengan menyesuaikan struktur kurikulum. Dalam Kurikulum Merdeka, struktur kurikulum dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu pembelajaran intrakurikuler yang biasanya berbasis mata pelajaran dan pembelajaran melalui projek yang ditujukan untuk mencapai kompetensi umum yang telah dirumuskan dalam profil pelajar Pancasila.

Metode ini juga sejalan dengan strategi di berbagai negara yang mengembangkan unit-unit pembelajaran interdisipliner, merestrukturisasi konten sehingga beban belajar peserta didik tidak membesar secara signifikan (OECD, 2020a).

Penjelasan lebih mendalam tentang struktur kurikulum disampaikan pada bagian lain dalam Bab ini.

2. Pembelajaran berpusat pada peserta didik

Pembelajaran berpusat pada peserta didik pada hakikatnya dimulai sejak perancangan kurikulum, bukan sekadar pedagogi yang dirancang oleh guru setelah kurikulum ditetapkan.

Menurut Pritchett dan Beatty (2015), menempatkan peserta didik di pusat- nya pembelajaran (center of learning) berarti mengajarkan konsep dan/atau keterampilan sesuai dengan kemampuan mereka saat itu alih-alih mengajarkan suatu materi hanya karena mengikuti urutan yang dianjurkan dalam buku teks tanpa mempertimbangkan apakah mayoritas peserta didik sebenarnya siap untuk mempelajari materi tersebut.

Dengan rancangan kurikulum yang demikian, kurikulum berpotensi untuk mendorong pembelajaran yang membangun kemampuan setiap individu peserta didik untuk memiliki agency atau kuasa/kendali dalam pembelajarannya, bukan menjadi “konsumen” informasi.

Untuk menjadi kompeten, peserta didik perlu memiliki kesempatan untuk belajar mengatur dirinya dalam proses belajar (Sahlberg, 2000).

3. Semua peserta didik perlu mencapai kompetensi minimum

Semua peserta didik perlu mencapai kompetensi minimum, namun kurikulum yang terlalu padat dan diajarkan dengan terburu-buru mengakibatkan guru hanya memperhatikan kemampuan sebagian kecil peserta didiknya yang lebih berprestasi (Pritchett & Beatty, 2015). Akibatnya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penelitian Pritchett dan Beatty di India tersebut, anak-anak yang mengalami kesulitan belajar akan semakin tertinggal.

Data mereka menunjukkan bahwa anak-anak yang tertinggal ini kebanyakan dari keluarga miskin, sehingga kurikulum yang padat menjadi salah satu faktor yang menjelaskan kesenjangan kualitas hasil belajar antar siswa di sekolah yang sama.

Pengurangan kepadatan kurikulum dapat mengurangi kesenjangan kualitas belajar. Hal ini ditunjukkan juga dalam kajian yang dilakukan INOVASI dan Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud Ristek (2021) bahwa Kurikulum 2013 yang dikurangi capaiannya (Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar), yang juga dikenal sebagai kurikulum darurat, membantu siswa SD memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss).

Efek positif dari kurikulum darurat ini lebih nyata untuk anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah.

Maka dengan pengurangan konten, setiap peserta didik memiliki kesempatan lebih besar untuk mencapai standar kompetensi minimum sehingga kurikulum pun menjadi lebih berkeadilan (equitable) untuk seluruh anak Indonesia.

4. Penguatan literasi dan numerasi

Penguatan literasi dan numerasi terutama di jenjang pendidikan dasar menjadi salah satu perhatian dalam perancangan kurikulum yang berfokus pada kompetensi.

Selaras dengan konsep literasi dan numerasi yang digunakan dalam kebijakan Asesmen Kompetensi  Nasional (AKM), literasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik dalam memahami, menggunakan,  mengevaluasi,  merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat.

Sementara itu numerasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik dalam berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia (REF).

Merujuk pada definisi tersebut, literasi dan numerasi merupakan kemampuan yang dipelajari dalam berbagai mata pelajaran, tidak hanya Bahasa Indonesia (untuk literasi) dan Matematika (untuk numerasi).

Lebih dari itu, literasi juga harus dimulai sejak pendidikan anak usia dini. Kurikulum Merdeka untuk  PAUD diarahkan untuk menguatkan literasi  dini (early literacy) dan numerasi dini. Kegiatan bermain-belajar yang dianjurkan dimulai dengan guru membaca nyaring (read aloud) buku bacaan anak, kemudian diikuti dengan berbagai aktivitas yang mengembangkan kemampuan literasi dasar.

Aktivitas ini beragam sesuai dengan kesiapan guru/pendidik, mulai dari kegiatan tanya jawab atau diskusi yang menstimulasi kemampuan bernalar kritis dan kreatif, sampai kegiatan yang lebih panjang lainnya seperti bermain peran, membuat berbagai karya, serta kegiatan bermain belajar lainnya.

Kegiatan seperti ini dapat mendukung perkembangan anak agar siap bersekolah (school-ready) dan membangun rasa gemar membaca dan berliterasi (Trealease, 2019).


Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran, 2022

Materi Rancangan Kurikulum Merdeka

Loading