Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka Belajar dalam Rancangan Kurmer

Madrasahdigital.net. Pada Rancangan Kurikulum Merdeka di Kajian Akademik Kurikulum Merdeka menjelaskan tentang Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka. Capaian pembelajaran ini seperti Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) di Kurikulum 2013.


  • Baca juga:

Pengertian Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Capaian pembelajaran (CP) adalah kompetensi minimum yang harus dicapai peserta didik untuk setiap mata pelajaran. CP dirancang dengan mengacu pada SKL dan Standar Isi, sebagaimana Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar (KI-KD) dalam Kurikulum 2013 dirancang.

Capaian Pembelajaran pada Kurikulum Merdeka merupakan pembaharuan dari KI dan KD, yang dirancang untuk terus menguatkan pembelajaran yang fokus pada pengembangan kompetensi.

Kurikulum 2013 bahkan kurikulum nasional yang terdahulu sudah ditujukan untuk berbasis kompetensi, sehingga kurikulum ini meneruskan upaya tersebut.

Dalam CP, strategi yang semakin dikuatkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan:

  • mengurangi cakupan materi dan
  • perubahan tata cara penyusunan capaian yang menekankan pada fleksibilitas dalam pembelajaran.

1. Pengurangan Konten Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Pengurangan konten. Konsekuensi dari pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi adalah perlunya pengurangan materi pelajaran atau pokok bahasan.

Penelitian yang dilakukan Pritchett dan Beatty (2015) menunjukkan bahwa di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia, materi pelajaran yang begitu padat membuat guru terus bergerak cepat menyelesaikan bab demi bab, konsep demi konsep, tanpa memperhitungkan kemampuan siswa untuk memahami pelajaran tersebut.

Menurut Pritchett dan Beatty, hal ini bukan karena guru tidak menghiraukan kemampuan anak dalam belajar. Mengajar dengan terburu-buru dan tidak menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa merupakan keputusan logis karena kebijakan kurikulum yang berlaku menilai kinerja mereka melalui ketuntasan mengajarkan materi ajar yang begitu banyak.

a. Dampak Materi yang Padat

Ketika pelajaran disampaikan dengan terburu- buru, peserta didik tidak memiliki cukup waktu untuk memahami konsep secara mendalam, yang sebenarnya sangat penting untuk menguatkan fondasi kompetensi mereka.

Pritchett dan Beatty (2015) menemukan bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan memahami konsep di kelas-kelas awal di sekolah dasar juga mengalami kesulitan di jenjang-jenjang berikutnya. Artinya, padatnya materi pelajaran membawa dampak yang panjang dan siswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi.

b. Penyederhanaan Fokus Materi Esensial

Beberapa contoh konkrit penyederhanaan dan penyesuaian kompetensi dan materi ajar dalam CP adalah

  • pengurangan beberapa materi dalam CP Biologi SMA (Fase karena terlalu banyak dan terlalu terperinci untuk jenjang tersebut,dan
  • penambahan materi dalam CP Kimia SMA (Fase F) tentang Nanoteknologi dan Radioaktivitas karena keduanya semakin banyak ditemui saat ini.

Pritchett dan Beatty (2015) serta laporan yang ditulis OECD (2018) menekankan bahwa penyederhanaan kurikulum melalui pengurangan konten atau materi pelajaran bukan berarti standar capaian yang ditetapkan menjadi lebih rendah.

Sebaliknya, kurikulum berfokus pada materi pelajaran yang esensial. Materi esensial ini dipelajari dengan lebih leluasa, tidak terburu-buru sehingga siswa dapat:

  • belajar secara mendalam,
  • mengeksplorasi suatu konsep,
  • melihatnya dari perspektif yang berbeda,
  • melihat keterkaitan antara suatu konsep dengan konsep yang lain,
  • mengaplikasikan konsep yang baru dipelajarinya di situasi yang berbeda dan situasi nyata,
  • sekaligus merefleksikan pemahamannya tentang konsep tersebut.

Pengalaman belajar yang demikian, menurut Wiggins dan McTighe (2005), akan memperkuat pemahaman siswa akan suatu konsep secara lebih mendalam dan berkelanjutan.

c. Teori Konstruktivisme Dasar Pengurangan Materi

Pandangan Wiggins dan McTighe (2005) tersebut dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme. Di berbagai negara, dan tidak terbatas pada negara maju saja, pendekatan pembelajaran berbasis teori konstruktivisme ini semakin dikuatkan.

Di India, misalnya, pembelajaran berbasis konstruktivisme bahkan menjadi muatan wajib bagi calon guru dalam kurikulum LPTK mereka (UNESCO MGIEP, 2017).

Rogan (2003) juga melaporkan bahwa Afrika Selatan, serta beberapa negara di benua Afrika lainnya, juga secara eksplisit menyatakan dalam dokumen kurikulum mereka bahwa teori konstruktivisme menjadi rujukan utama dalam kebijakan kurikulum dan pembelajaran.

2. Pembelajaran Secara Konstruktif pada Kurikulum Merdeka

Pembelajaran secara konstruktif. Teori konstruktivisme menekankan pentingnya proses pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku aktif pembelajaran (students as agents), bukan sebagai penerima informasi secara pasif dari guru mereka (students as recipients).

a. Istilah Memahami menurut Teori Konstruktivisme

Menurut teori belajar konstruktivisme (constructivist learning theory), pengetahuan bukanlah kumpulan atau seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah untuk diingat.

“Memahami” dalam konstruktivisme adalah proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman nyata. Pemahaman tidak bersifat statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan sepanjang siswa mengonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memodifikasi pemahaman sebelumnya.

Pemahaman yang bermakna ini membutuhkan proses belajar yang berpusat pada siswa serta waktu yang lebih panjang daripada pembelajaran yang sekadar “menjejali” siswa dengan informasi-informasi yang kurang bermakna karena sekadar untuk diketahui atau dihafalkan saja.

Dengan demikian, sedapat mungkin CP mengutamakan kompetensi yang perlu dicapai tanpa mengikat konteks dan konten pembelajarannya. Berdasarkan kompetensi tersebut, satuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan konteks sekolah dan relevan dengan perkembangan, minat, serta budaya peserta didik.

Oleh karena CP dikembangkan berdasarkan teori konstruktivisme, maka capaian- capaian dalam dokumen CP perlu dipahami menggunakan kerangka teori yang sama.

Istilah “pemahaman” (understanding) dalam CP perlu dimaknai sebagaimana teori Konstruktivisme di atas. Pemahaman yang dimaksud dicapai melalui kemampuan mengaplikasikan dan menganalisis suatu konsep.

Dengan demikian konsep pemahaman ini berbeda dengan Taksonomi Bloom yang memandang bahwa memahami (understanding – level 2) suatu konsep membutuhkan keterampilan berpikir yang lebih rendah dibandingkan kemampuan mengaplikasikan (applying – level 3) dan menganalisis (analyzing – level 4) konsep (Anderson, Krathwohl, D. R., & Bloom, B. S., 2001).

b. Kedudukan Taxonomy Bloom pada Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Perancangan CP ini tidak mengabaikan Taksonomi Bloom yang semula digunakan dalam perancangan KI-KD dalam Kurikulum 3013

Sebaliknya, Taksonomi Bloom ini dianjurkan untuk digunakan ketika guru merancang pembelajaran harian dan asesmen kelas sesuai dengan tujuan pengembangan taksonomi, sebagaimana Anderson dan rekan- rekan (2001, p.7):

The Taxonomy framework obviously can’t directly tell teachers what is worth learning. But by helping teachers translate standards into a common language for comparison with what they personally hope to achieve, and by presenting the variety of possibilities for consideration, the Taxonomy may provide some perspective to guide curriculum decisions.

Kerangka Taksonomi tidak dapat secara langsung mengarahkan guru apa yang patut dipelajari [peserta didik], namun dapat membantu guru menerjemahkan standar ke dalam hal yang ingin dicapai oleh guru [melalui pengajaran yang dilakukannya], dan dengan memberikan beragam hal yang perlu diperhatikan, Taksonomi [Bloom] dapat memberikan pandangan yang dapat membimbing guru dalam pembuatan keputusan tentang kurikulum.

Anderson dan rekan-rekan (2001) melakukan revisi terhadap Taksonomi Bloom dan secara eksplisit menyatakan bahwa taksonomi tersebut relevan dan membantu untuk digunakan oleh guru dalam pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan, bukan di level standar nasional. Taksonomi Bloom berguna untuk “menerjemahkan standar” ke dalam istilah dan bahasa yang lebih konkrit dan operasional untuk digunakan sehari-hari.

Dengan demikian, dalam konteks kurikulum nasional di Indonesia, Taksonomi Bloom relevan untuk digunakan guru dalam merancang alur tujuan pembelajaran dan asesmen kelas.

3. Penggunaan Fase pada CP Kurikulum Merdeka

Penggunaan Fase. Perbedaan lain antara KI- KD dalam Kurikulum 2013 dengan CP dalam Kurikulum Merdeka adalah rentang waktu  yang dialokasikan untuk mencapai kompetensi yang ditargetkan.

Sementara KI-KD ditetapkan per tahun, Capaian Pembelajaran pada kurikulum merdeka dirancang berdasarkan fase- fase. Satu Fase memiliki rentang waktu yang berbeda-beda, yaitu:

  • (1) Fase Fondasi yang dicapai di akhir PAUD,
  • (2) Fase A umumnya untuk kelas I sampai II SD/sederajat,
  • (3) Fase B umumnya untuk kelas III sampai IV SD/ sederajat,
  • (4) Fase C umumnya untuk kelas V sampai VI SD/sederajat,
  • (5) Fase D umumnya untuk kelas VII sampai IX SMP/sederajat,
  • (6) Fase E untuk kelas X SMA/sederajat, dan
  • (7) Fase F untuk kelas XI sampai XII SMA/sederajat.

Fase E dan Fase F dipisahkan karena mulai kelas XI peserta didik akan menentukan mata pelajaran pilihan sesuai minat dan bakatnya, sehingga struktur kurikulumnya mulai berbeda sejak kelas XI.

a. Tujuan Penggunaan Fase pada Kurikulum Merdeka

Dengan menggunakan Fase, suatu target capaian kompetensi dicapai tidak harus dalam satu tahun tetapi beberapa tahun, kecuali di kelas X jenjang SMA/sederajat.

Pengecualian ini dilakukan karena struktur kurikulum di jenjang SMA/sederajat yang terbagi menjadi dua, yaitu:

  • kelas X di mana siswa mengikuti seluruh mata pelajaran, dan
  • kelas XI-XII di mana siswa memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasi masing-masing.

Struktur ini akan disampaikan lebih mendalam pada bagian terpisah dalam bab ini.

Rentang waktu yang lebih panjang ditetapkan agar materi pelajaran tidak terlalu padat dan peserta didik mempunyai cukup banyak waktu untuk memperdalam materi dan mengembangkan kompetensi.

Fase-fase ini diselaraskan dengan teori perkembangan anak dan remaja dan juga dengan struktur penjenjangan pendidikan.

Penggunaan istilah “Fase” dilakukan untuk membedakannya dengan kelas karena peserta didik di satu kelas yang sama bisa jadi belajar dalam fase pembelajaran yang berbeda. Ini merupakan penerapan dari prinsip pembelajaran sesuai tahap capaian belajar atau yang dikenal juga dengan istilah teaching at the right level (mengajar pada tahap capaian yang sesuai).

Sebagai contoh, berdasarkan asesmen kelas terdapat siswa kelas V SD yang belum siap mempelajari materi pelajaran Fase C (fase dengan kompetensi yang ditargetkan untuk siswa kelas V pada umumnya). Berdasarkan hasil asesmen tersebut, maka siswa-siswa tersebut mengulang pelajaran di Fase B (fase untuk kelas III-IV) yang belum mereka kuasai.

b. Pembelajaran Terdiferensiasi dan Kebijakan Tinggal Kelas

Pembelajaran terdiferensiasi sesuai tahap capaian peserta didik tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan dan praktik tinggal kelas atau tidak naik kelas diharapkan dapat ditinggalkan.

Kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak meningkatkan prestasi akademik mereka. Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif peserta didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021).

Hal ini menunjukkan bahwa mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman- temannya, melainkan tetap lebih rendah.

Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik tersebut adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar yang lebih intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang seluruh pelajaran selama setahun.

4. Perumusan CP Kurikulum Merdeka

Perumusan Capaian Pembelajaran atau CP pada Kurikulum Merdeka. Perubahan lain yang signifikan dari KI-KD menjadi CP adalah format penulisan kompetensi yang ingin dicapai serta rentang waktu yang ditargetkan untuk mempelajarinya.

Dalam KI-KD Kurikulum 2013, kompetensi- kompetensi yang dituju disampaikan dalam bentuk kalimat tunggal yang disusun dalam poin-poin. Selain itu, dalam KI-KD terdapat pemisahan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagaimana Taksonomi Bloom juga memisahkan ketiga domain tersebut. Meskipun dalam Kurikulum 2013 kompetensi (KI-KD) tersebut sebenarnya saling berkaitan dan berangkaian. Namun demikian, ketika KI-KD dituliskan sebagai poin-poin, keterkaitan antara ruang lingkup kemampuan satu dengan yang lain tidak terdefinisikan dengan jelas.

a. Evaluasi terhadap Penggunaan KI-KD di Kurikulum 2013

Evaluasi Kurikulum 2013 yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbudristek mendapati bahwa sebagian guru belum melihat adanya rangkaian yang utuh antara KD-KD dari satu KI yang sama. Target kompetensi tersebut kemudian ditargetkan untuk dicapai dalam rentang waktu satu tahun ajaran.

b. Paragraf sebagai Rumusan CP Kurikulum Merdeka

CP ditulis dalam metode yang berbeda, di mana pemahaman, sikap atau disposisi terhadap pembelajaran dan pengembangan karakter, serta keterampilan yang terobservasi atau terukur ditulis sebagai suatu rangkaian.

Hal ini merujuk pada makna kompetensi yang lebih dari sekadar perolehan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mengolah dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, sikap, serta nilai-nilai yang dipelajari untuk menghadapi situasi atau permasalahan yang kompleks (OECD 2019; Glaesser, 2018).

CP disampaikan dalam bentuk paragraf/narasi untuk menggambarkan rangkaian konsep dan keterampilan kunci yang ditargetkan untuk diraih oleh peserta didik, yang ditunjukkan dengan performa yang nyata.

Dengan demikian, CP diharapkan dapat memperlihatkan rangkaian proses belajar suatu konsep ilmu pengetahuan, mulai dari memahami suatu konsep sampai dengan menggunakan konsep ilmu pengetahuan dan keterampilannya untuk mencapai tuntutan kognitif yang lebih kompleks (misalnya mengajukan solusi kreatif, bukan sekadar menjawab pertanyaan).

Kompetensi juga terbangun atas aspek kognitif yang berangkaian dengan aspek afektif atau disposisi tentang ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Set atau daftar berisi pengetahuan yang perlu dipahami, sikap yang perlu ditunjukkan, atau keterampilan yang perlu diperlihatkan peserta didik saja, tanpa ada rangkaian antara ketiga domain tersebut, belum dapat dimaknai sebagai pengkonstruksian kompetensi.

Untuk membangun dan mengembangkan kompetensi, peserta didik perlu mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya dalam situasi yang spesifik dan nyata (Glaesser, 2018).

Dengan menggunakan paragraf, keterkaitan antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan proses pengembangan kompetensi menjadi lebih jelas dan utuh sebagai satu rangkaian.

c. Fungsi Elemen pada Struktur CP

Dalam penulisannya, struktur CP tidak berdasarkan domain-domain pemahaman, sikap/disposisi, dan keterampilan, melainkan berbasis pada kompetensi dan/atau konsep yang esensial dari setiap mata pelajaran.

Kompetensi dan konsep tersebut disebut sebagai elemen-elemen yang menjadi ciri khas setiap mata pelajaran, dan elemen ini kemudian dinyatakan perkembangannya dari satu fase ke fase berikutnya.

Dengan demikian, setiap elemen secara konsisten dipelajari oleh peserta didik mulai dari jenjang SD sampai jenjang SMA dengan kompleksitas dan kedalaman yang berbeda, yang artinya kompetensi peserta didik pun berkembang dari fase ke fase.

Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat 4 elemen utama, yaitu: 1) menyimak, 2) membaca dan memirsa, 3) berbicara dan merepresentasikan, dan 4) menulis.

Sejak Fase A (kelas I-II SD/sederajat) hingga Fase F (kelas XI-XII SMA/sederajat), keempat elemen tersebut dipelajari dengan tingkat kompleksitas kognitif yang terus berkembang.

Bagi guru dan pengembang kurikulum, elemen ini dapat menjadi acuan tentang kompetensi apa saja yang harus ia ajarkan kepada siswa dan menjadi aspek yang diases oleh guru. Apabila ada siswa yang belum dapat mengikuti pelajaran di suatu Fase, guru dapat mengecek elemen apa yang belum dikuasai siswa tersebut dan kemudian membantunya untuk mengulang pembelajaran elemen yang sama di fase sebelumnya. Alur perkembangan Capaian Pembelajaran dimulai pada Fase A hingga fase tertinggi, yaitu Fase F.

d. Penerapan CP di Dunia

Pola perumusan CP ini juga dipengaruhi oleh beberapa kerangka kurikulum yang digunakan di berbagai negara dengan pencapaian pendidikan yang relatif tinggi.

Sebagai contoh, Australia   (https://www.australiancurriculum.edu. au/) menyatakan karakteristik utama dari setiap mata pelajaran dalam dokumen standarnya (setara dengan CP), termasuk alasan rasional mengapa anak-anak perlu mempelajari mata pelajaran tersebut dan domain atau elemen utama yang menjadi karakteristik khas mata pelajaran tersebut disertai perkembangannya dari satu tahapan atau jenjang ke tahapan berikutnya.

Dengan adanya perkembangan domain-domain isi dan/atau kompetensi suatu mata pelajaran, kompetensi utama yang akan dikembangan melalui mata pelajaran tersebut menjadi lebih eksplisit.

Pendekatan yang sama juga digunakan dalam kurikulum Finlandia (Finnish Board of Education, 2014), di mana standar yang perlu dicapai disampaikan secara deskriptif mulai dari penjelasan tentang fungsi dari mata pelajaran tersebut, kompetensi utama yang difokuskan, capaian atau tujuan untuk kompetensi tersebut, panduan atau rambu-rambu yang perlu diperhatikan guru atau pengembang silabus dan kegiatan pembelajaran mata pelajaran tersebut, dan asesmen yang dianjurkan.

Semua komponen tersebut dijelaskan  untuk setiap tahapan perkembangan (dalam Kurikulum Merdeka diadaptasi sebagai Fase, akan dijelaskan kemudian). Sebagai standar yang berlaku nasional, capaian merupakan tujuan yang lebih abstrak daripada tujuan pembelajaran yang dikembangkan guru dalam silabus apalagi RPP.

Contoh lain adalah standar capaian pendidikan Matematika yang dikembangkan oleh NCTM (National Council of Teachers of Mathematics), yang dianjurkan untuk diterapkan secara  global. Standar yang dirancang NCTM dibangun dengan asumsi bahwa setiap anak dapat mencapai kompetensi yang ditetapkan. Oleh karena itu, standar yang ditetapkan NCTM merupakan standar minimum yang inklusif.

Paradigma ini juga sejalan dengan prinsip perancangan Kurikulum Merdeka yang inklusif dan berkeadilan. Standar yang ditetapkan NCTM juga distrukturkan berdasarkan domain konten dan domain kemampuan (performance). Struktur ini menjadi salah satu rujukan utama dalam Capaian Pembelajaran Matematika pada kurikulum merdeka

5. Fleksibilitas Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Fleksibilitas pembelajaran. Untuk menguatkan kompetensi, pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menghubungkan konsep atau teori yang dipelajarinya dengan lingkungan atau kehidupan sekitar mereka (Glaesser, 2018; Eggen & Kauchak, 2016).

Dengan demikian, fleksibilitas sangat penting bagi satuan pendidikan untuk dapat mengembangkan pembelajaran yang memberikan kesempatan untuk peserta didik membuat kaitan-kaitan antara konsep yang dipelajari dengan situasi setempat, sekaligus menentukan kecepatan pembelajaran setiap konsep.

Fleksibilitas CP (capaian pembelajaran pada Kurikulum Merdeka) yang memberikan keleluasaan untuk pembelajaran yang kontekstual ini dicontohkan dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, di mana topik tentang Pemilihan Umum dapat dipelajari pada masa- masa sekitar Pemilihan Umum di Indonesia atau daerahnya.

Untuk mengetahui tingkat fleksibilitas Capaian Pembelajaran (CP), Pusat Kurikulum dan Pembelajaran  Kemendikbudristek  bersama para pakar mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA melakukan analisis perbandingan antara KI-KD dengan elemen- elemen dalam CP terkait dengan dua hal, yaitu:

  • kesesuaian antara KI-KD dan CP dengan tahap perkembangan pembelajaran (apakah terlalu/kurang mendalam, terlalu sulit/mudah) dan
  • fleksibilitas untuk dikembangkan sesuai dengan konteks lokal satuan pendidikan.

Analisis kuantitatif tersebut dilakukan dengan menghitung proporsi target kompetensi dari masing-masing kurikulum yang menunjukkan kesesuaian dengan tahap perkembangan dan juga aspek fleksibilitasnya.

Hasil Analisis Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka dan KI KD Kurtilas
Gambar 3.3. Hasil Analisis Perbandingan Antara CP dan KI-KD Terkait Kesesuaian Dengan Tahap Perkembangan dan Fleksibilitas

Hasil analisis menunjukkan bahwa CP lebih sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik dan lebih fleksibel daripada KI-KD.

Contohnya, pada mata pelajaran Matematika elemen-elemen pada CP 50% lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dibandingkan KI-KD dan 42,31% lebih fleksibel untuk diterjemahkan satuan pendidikan.

Sedangkan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, elemen-elemen pada CP 58,33% lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dan 100% lebih fleksibel.

Untuk mata pelajaran IPA, elemen-elemen pada CP 48,91% lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dan 76,57% lebih fleksibel. Analisis ini menunjukkan bahwa CP memberikan fleksibilitas yang lebih besar daripada KI-KD.

6. Peningkatan Kualitas Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Peningkatan kualitas CP pada Kurikulum Merdeka. Gambar 3.3 juga memperlihatkan bahwa masih ada beberapa persen materi dalam CP yang belum sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, misalnya sekitar 17% capaian dalam mata pelajaran IPA Kurikulum 2013 dinilai pakar lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dibandingkan dengan capaian dalam Kurikulum Merdeka.

a. Umpan Balik untuk Peningkatan Kualitas Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Data ini memberikan informasi kepada perancang kurikulum tentang perlunya melakukan penelaahan kembali dan revisi apabila diperlukan. Sebagaimana disampaikan dalam bagian Prinsip Perancangan Kurikulum, umpan balik yang didapatkan selama satu tahun implementasi secara terbatas dalam Program Sekolah Penggerak (PSP) dan SMK Pusat Keunggulan (SMK PK) digunakan sebagai pertimbangan untuk merevisi dokumen- dokumen kurikulum, termasuk CP.

Selain analisis perbandingan antara CP dengan KI-KD tersebut, umpan balik juga didapat melalui diskusi kelompok terpumpun bersama guru PSP yang mulai menerapkan Kurikulum Merdeka sejak Tahun Ajaran 2021/2022.

Menurut pandangan para guru, pembelajaran dengan kurikulum ini memiliki beberapa kelebihan seperti capaian pembelajaran relevan dengan konteks zaman dan tingkat perkembangan berpikir siswa.

Capaian pembelajaran dapat dieksplorasi oleh guru dengan menyesuaikan kebutuhan siswa, kearifan lokal serta situasi dan kondisi terkini. Namun demikian, untuk implementasinya diperlukan masa adaptasi sebab baik bagi guru maupun siswa memiliki tingkat kesiapan yang berbeda-beda.

Contohnya, untuk guru yang sebelumnya melakukan pembelajaran dengan Kurikulum 2013 dimana kompetensi dicapai tiap tahun perlu beradaptasi dengan capaian pembelajaran pada kurikulum prototipe yang dirancang menjadi tiap fase. Umpan balik ini menjadi landasan untuk memperbaiki strategi implementasi kurikulum di satuan pendidikan.

b. Tindak Lanjut Hasil Umpan Balik

Berdasarkan monitoring awal yang dilaksanakan pada tahun 2021, telah dilaksanakan perbaikan mayor pada 33,33% CP mata pelajaran yang digunakan di PAUD dan Dikdasmen, serta 11,54% CP untuk mata pelajaran khusus SMK.

Perbaikan mayor tersebut meliputi perbaikan pada beberapa aspek seperti kesesuaian CP dengan tingkat kemampuan berpikir dan tahapan perkembangan belajar siswa, kesesuaian materi dan penjabaran capaian pembelajaran pada tiap fase.

Selain itu, dilakukan pula perbaikan minor yang meliputi perbaikan pada aspek redaksional seperti penulisan kalimat, pemilihan kata dan istilah serta tambahan keterangan untuk bagian tertentu.

Pemilihan kata dan istilah ini penting mengingat suatu kata dan istilah bisa memiliki makna yang sangat beragam. Dengan demikian, CP yang diterbitkan pada tahun 2022 merupakan versi revisi berdasarkan umpan balik yang disampaikan oleh pakar dan juga guru sebagai pengguna Kurikulum Merdeka.


Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran, 2022

Materi Rancangan Kurikulum Merdeka

Loading