KurikulumMerdeka2024. Naskah Akademik Kurikulum Merdeka pada landasan pengembangan kurikulum merdeka membahas tentang landasan historis.
Landasan Historis Kurikulum Merdeka pada Naskah Akademik
Pengembangan kurikulum nasional perlu didasarkan pada pertimbangan historis, terutama untuk melihat konteks perubahan kurikulum yang pernah dilakukan.
Konteks dalam hal ini terkait dengan perubahan sosial, politik, dan wacana global terkait pendidikan yang menjadi sebab dan dasar pembaruan kurikulum (curriculum reform).
Dengan kata lain, landasan historis pengembangan kurikulum memberikan informasi mengapa kurikulum nasional berganti dan implikasinya.
10 Kurikulum Berdasarkan Landasan Historis Kurikulum Merdeka
Secara historis, sejak Indonesia merdeka, telah terjadi pergantian kurikulum lebih kurang 10 (sepuluh) kali. Pertama, kedua, dan ketiga masih disebut sebagai rencana pembelajaran, yaitu pada tahun 1947, 1952, dan 1964.
Disusul lahirnya kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013 (Alhamuddin, 2014).
Terdapat konteks dan semangat yang berbeda.di antara kurikulum-kurikulum nasional tersebut.
Kurikulum 1947-1952-1964
Kurikulum tahun 1947 sampai dengan 1964 dijiwai oleh semangat membangun nasionalisme dan visi sosialisme Indonesia dengan diwarnai dinamika politik yang kuat. (Subkhan, 2018).
Dan Kurikulum nasional tersebut masih sederhana strukturnya dan kontekstual dengan harapan dapat
- mendekatkan anak didik dengan realitas sosial sekitarnya serta
- memanfaatkan apa yang ada di lingkungan sekolah tersebut sebagai sumber belajar.
Kurikulum 1964 merupakan upaya untuk menata kurikulum nasional dengan menekankan kembali nasionalisme dan sosialisme.
Salah satu kebijakan kurikulum yang populer waktu itu adalah Pancawardhana, yaitu lima orientasi utama pembelajaran, yaitu
- moral,
- intelegensi,
- emosional/artistik,
- keterampilan (keprigelan), dan
- jasmani (Tilaar, 1995).
Kurikulum 1968
Dinamika politik tahun 1965 dan pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Suharto menjadi konteks pembaruan kurikulum berikutnya. Terutama kurikulum 1968 yang mulai menjadikan sektor ekonomi dan stabilitas politik sebagai dasar pertimbangan utama dibanding sektor lainnya.
Penanaman nilai-nilai Pancasila ditekankan kuat dalam bentuk indoktrinasi ideologis hingga tahun 1990an sebagai respons atas peristiwa ‘65.
Khusus untuk kurikulum tahun 1968 secara umum dalam pengembangan kurikulum dan muatan pelajaran belum terdapat perbedaan signifikan dibanding dengan kurikulum 1964 yang dicirikan dengan muatan teoretis dan pembelajaran ekspositori (Hidayat et al., 2017).
Kurikulum 1975
Berikutnya, pada kurikulum 1975 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Orientasi ekonomi lebih diperkuat dengan asumsi bahwa pendidikan dan nilai-nilai Pancasila merupakan pendorong pembangunan.
Kurikulum 1975 mencoba untuk merestrukturisasi kurikulum sebelumnya, menekankan prinsip efektivitas dan efisiensi, keberlanjutan, pendidikan seumur hidup, dan berorientasi tujuan.
Di sini dikenal istilah tujuan institusional, kurikuler, dan instruksional umum dan khusus dalam pengembangan silabus.
Secara khusus disebut dengan model Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).(Hidayat et al., 2017; Soedijarto et al., 2010).
Kurikulum 1984
Perbaikan kurikulum dilakukan lagi hingga menghasilkan kurikulum 1984, di mana beberapa mata pelajaran yang tumpang tindih dicoba untuk dirapikan.
Ketika itu, dihasilkan pembeda yang jelas antara Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Ilmu Pengetahuan Sosial.(IPS), dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Secara umum, kurikulum 1984 menggunakan pendekatan spiral terkait penataan keluasan dan kedalaman materi.
Sejak tahun 1984 dikenalkan juga Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang otomatis menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar yang harus aktif. (Soedijarto et al., 2010).
Kurikulum 1994
Pada kurikulum 1994 terdapat upaya menekankan pada proses dan kebermaknaan pembelajaran.
Walaupun begitu tujuan tetap penting sebagai acuan pembelajaran oleh karena kurikulum nasional dimaknai sebagai alat untuk memenuhi tuntutan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Di sini dikenal istilah objective-based curriculum yang diacu oleh Wardiman Djojonegoro sebagai menteri pendidikan waktu itu. (Hidayat et al., 2017, p. 96).
Kurikulum ini juga membagi masa pembelajaran dalam 1 (satu) tahun menjadi tiga atau disebut Caturwulan.
Secara umum, kurikulum 1994 juga masih mencirikan sentralisasi dalam pengembangan kurikulum dan implementasinya. Juga mengikuti ketentuan Pemerintah Pusat, termasuk juga masih memuat banyak mata pelajaran yang sarat materi.
Sebagai perbaikan, kurikulum 1994 menambah durasi pembelajaran Matematika dan bahasa Indonesia dengan konsekuensi mengurangi jam pelajaran Seni dan sejenisnya.
Walaupun masih bersifat sentralistis, kurikulum 1994 memberikan ruang akomodasi dengan mengenalkan Muatan Loka (Mulok) (Hidayat et al., 2017, p. 91; Soedijarto et al., 2010).
Kurikulum 1998
Setelah reformasi politik 1998 perubahan kurikulum diinspirasi oleh semangat demokrasi, desentralisasi, hak asasi manusia (HAM), dan globalisasi.
Kurikulum 2004
Setelah diawali oleh proyek percontohan sejak awal 2000an, pada tahun 2004 diluncurkan konsep awal kurikulum yang kemudian familier disebut dengan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Ciri khas dari kurikulum ini adalah memulai.pengembangan kurikulum dengan identifikasi kompetensi yang hendak dicapai oleh anak didik.
Hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang diturunkan dari bidang-bidang ilmu pengetahuan. (Departemen Pendidikan Nasional, 2003; Mulyasa, 2002; Soedijarto et al., 2010).
Kurikulum Berbasis Kompetensi mengenalkan istilah standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). pembelajarannya bukan lagi dibagi menjadi Caturwulan, melainkan semester. Serta didukung oleh Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Lebih lanjut, dilihat dari struktur kurikulum, terdapat tambahan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Selain itu, empat pilar pendidikan dari UNESCO dijadikan sebagai sasaran pembelajaran.(Hidayat et al., 2017).
Kurikulum 2006
Dua tahun kemudian, tahun 2006, diluncurkan kurikulum 2006 dengan rumusan SK dan KD dituangkan dalam lampiran Permendikbud 22/2006 tentang Standar Isi.
Pada tahun tersebut mulai dikenal istilah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Yaitu kurikulum operasional yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan.
Pada dasarnya pengembangan kurikulum 2006 masih berbasis kompetensi, bahkan hingga sekarang.
Hal yang membedakan adalah kurikulum 2006 memperluas kewenangan sekolah untuk mengembangkan kurikulum operasionalnya masing-masing.
Selain itu, pendekatan tematik untuk kelas rendah (kelas 1 hingga 3) pada jenjang Sekolah Dasar (SD) juga dikenalkan.
Kurikulum 2013
Mengacu pada evaluasi terhadap kurikulum 2006, pemerintah kemudian meluncurkan kurikulum 2013.
Terdapat beberapa hal yang berbeda, antara lain mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tidak dituangkan dalam struktur kurikulum, namun perlu dioptimalkan pemanfaatannya dalam proses pembelajaran, dan penekanan pada karakter.
Tanggung jawab guru dan satuan pendidikan pun dalam mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan lebih dikuatkan, namun demikian, banyak satuan pendidikan dinilai belum optimal dalam mengembangkan kurikulum kontekstual.
Penetapan dan pengesahan kurikulum tingkat satuan pendidikan pun dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pembelajaran saintifik juga direkomendasikan untuk dijalankan di kelas.
Pada tahun 2016 dan 2018 dilakukan perbaikan kompetensi inti, di 2018 juga dilakukan penataan namun khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) (Alawiyah, 2013; Mulyasa, 2014, 2017; Slameto, 2015).
Kurikulum Darurat
Perubahan berikutnya dari kurikulum 2013 terjadi ketika Covid-19 melanda dan pemerintah menawarkan pilihan kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat), yakni dengan mengurangi kompetensi dasar (KD) (Munajim et al., 2020).
Kurikulum Merdeka
Pada perkembangan berikutnya, kurikulum darurat menjadi basis dari pengembangan kurikulum prototipe. Yakni embrio dari kurikulum nasional baru yang kemudian diberi nama Kurikulum Merdeka dan dirilis oleh pemerintah pada awal 2022 (Kurikulum Merdeka, 2022).
Kurikulum ini diberlakukan secara terbatas melalui Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan sejak 2021. Kemudian menjadi opsi kurikulum yang dapat diterapkan secara sukarela pada 2022, hingga akhirnya menjadi kurikulum nasional di tahun 2024.
Hal Penting Terkait Perubahan Kurikulum
Pada Landasan historis kurikulum merdeka, Naskah Akademik menyebutkan bahwa
Mengacu pada perubahan kurikulum nasional yang dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Hal umum yang perlu dipegang untuk kurikulum baru antara lain adalah
- (1) tiap zaman memiliki semangatnya masing-masing yang perlu direspons oleh kurikulum baru. Oleh karena itu perlu diidentifikasi isu-isu utama yang muncul pada tiap periode perubahan kurikulum,
- (2) perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi dalam pengembangan kurikulum. Walau terdapat beberapa kendala tetap punya potensi untuk lebih dioptimalkan. Terutama potensi mendekatkan peserta didik dengan konteks belajarnya,
- (3) belajar dari kurang optimalnya kurikulum 2006 dalam menjalankan KTSP, pemerintah perlu membuat sistem pendukung. Terutama yang menunjang peningkatan kemampuan guru dan sekolah,
- (4) kurikulum yang sarat materi perlu ditinjau ulangkemanfaatan dan kebermaknaannya, terutama bagi peserta didik,
- (5) terdapat orientasi untuk menyasar semua dimensi peserta didik. secara holistik, namun perlu dipertimbangkan penempatannya dalam struktur kurikulum,
- (6) perubahan kurikulum harus berpijak dari kurikulum sebelumnya, didahului oleh evaluasi dan sebaiknya tidak berubah secara drastis, dan
- (7) penambahan atau pengurangan mata pelajaran perlu dipertimbangkan secara bijak. Termasuk perubahan statusnya, karena terkait dengan karier dan tanggung jawab guru.
Lebih detail apa yang perlu diambil dari sejarah perubahan kurikulum dapat dilihat terutama dari diskusi dan evaluasi terhadap kurikulum-kurikulum tersebut beserta rekomendasi perbaikannya.
Sumber: Buku Kajian Akademik Kurikulum Merdeka 2024