Prinsip Pertama Kurikulum Merdeka merupakan Pilihan

Kurikulum Merdeka sebagai Pilihan Prinsip Strategi IKM

Madrasah Digital.net. Salah satu prinsip implementasi kurikulum adalah Kurikulum Merdeka merupakan pilihan. Hal ini memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk memilih sesuai kesiapan dan kondisinya.


5 Alasan Kurikulum Merdeka sebagai Pilihan dalam Pemulihan Pembelajaran

Dalam rangka pemulihan pembelajaran, Kurikulum Merdeka merupakan salah satu dari tiga kerangka kurikulum yang dapat dipilih satuan pendidikan. Ketiga pilihan tersebut adalah:

(1) Kurikulum 2013 dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar (KI-KD) utuh; (2) Kurikulum 2013 dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar (KI-KD) yang disederhanakan atau yang biasa disebut juga dengan istilah Kurikulum Darurat; dan (3) Kurikulum Merdeka.

Tidak ada satuan pendidikan yang ditunjuk lalu diwajibkan untuk mengimplementasikan kurikulum ini, seperti pendekatan yang biasanya digunakan pada implementasi kurikulum nasional yang terdahulu.

Satuan pendidikan memiliki kuasa atau agency untuk mengambil keputusan apakah kurikulum yang akan diterapkan pada Tahun Ajaran 2022/2023 yang akan datang adalah Kurikulum 2013 yang utuh, yang disederhanakan, atau Kurikulum Merdeka.

Sementara untuk satuan pendidikan swasta, keputusan ini perlu disetujui oleh pihak yayasan. Pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) berperan penting dalam mendukung keputusan yang diambil oleh satuan pendidikan.

1. Pandemi dan Kurikulum Merdeka sebagai Pilihan

Alasan pertama yang mendasari strategi implementasi ini adalah pandemi COVID-19 yang membawa dampak sangat beragam terhadap satuan pendidikan dan pendidik, sebagaimana yang dijelaskan dalam bagian B Bab 5 ini. Sebagian satuan pendidikan telah berupaya untuk melakukan inovasi-inovasi pembelajaran semasa pandemi COVID-19. Satuan pendidikan yang demikian mungkin memiliki kesiapan untuk mengimplementasi perubahan kurikulum.

Sementara sebagian satuan pendidikan lainnya yang mengalami kesulitan untuk memberikan layanan pembelajaran kepada peserta didik, mungkin akan terbebani dengan adanya suatu kebijakan baru. Bagi mereka, menambah kompleksitas baru pada kondisi yang sudah menyulitkan mereka mungkin bukan suatu keputusan yang logis.

2. Komitmen Guru Kunci Implementasi Kurikulum Merdeka

Penelitian menunjukkan bahwa komitmen guru untuk mengimplementasikan kurikulum merupakan faktor pendorong implementasi kurikulum yang efektif.

Hal ini ditunjukkan dalam berbagai penelitian yang dilakukan di banyak negara (Cheung & Wong, 2012; OECD, 2019) bahwa motivasi intrinsik, antusiasme untuk melakukan perubahan dan memberikan layanan pendidikan yang lebih baik kepada peserta didiknya merupakan faktor yang berkontribusi pada keberhasilan implementasi kurikulum.

Tekanan dan tuntutan dari pemerintah untuk mengimplementasikan suatu kebijakan perlu dibatasi karena hal tersebut tidak memberikan efek yang mendorong motivasi intrinsik.

Sebaliknya, strategi yang perlu dilakukan adalah mendukung satuan pendidikan dan para pendidik untuk mencoba melakukan suatu perubahan agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik.

Menjelaskan secara logis dan jelas keterkaitan perubahan dengan kualitas hasil belajar dinilai lebih efektif dalam mendukung implementasi suatu kebijakan baru (OECD, 2019; Wilcox et al., 2017).

3. Pilihan Sebagai Semangat Merdeka Belajar

Memberikan pilihan kepada satuan pendidikan juga merupakan kebijakan yang sejalan dengan semangat Merdeka Belajar. Satuan pendidikan memiliki hak untuk menentukan langkahnya sesuai dengan kekuatan dan kondisi masing- masing, sebagaimana kemerdekaan dimaknai oleh Ki Hajar Dewantara (2009).

Kekuatan dan kondisi satuan pendidikan tersebut menentukan kesiapan satuan pendidikan, dan kesiapan ini merupakan faktor yang sangat penting terutama ketika kebijakan baru seperti kurikulum membutuhkan perubahan besar- besaran terkait berbagai kebijakan di satuan pendidikan, praktik dan budaya kerja, serta rutinitas yang sudah menjadi tradisi di satuan pendidikan.

Dan terlebih lagi ketika perubahan semua itu harus dilakukan sekaligus dan dilakukan dalam waktu yang singkat (Bryk et al., 2015; Hargreaves & Shirley, 2009; Knapp et al, 2014). Bagi sebagian pendidik, perubahan masif seperti ini adalah tekanan sementara bagi yang lain menjadi tantangan.

4. Faktor Yang Menunjukkan Kesiapan Satuan Pendidikan

Kesiapan satuan pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum tidak terbatas pada kemampuan secara kognitif atau metakognitif saja, yaitu memahami isi kurikulumnya serta cara menerapkannya.

Kesesuaian antara filosofi kurikulum dengan paradigma guru tentang perannya sebagai pendidik serta prinsip-prinsip pembelajaran yang dipegangnya adalah faktor yang juga menjadi penentu kesiapan guru untuk mengimplementasikan  kurikulum. 

Sebagaimana yang disampaikan pada bagian awal Bab 5 ini, proses pemaknaan (sensemaking) kebijakan dipengaruhi oleh paradigma, nilai, serta keyakinan pendidik sebagai implementor kebijakan.

Ketika perubahan diwajibkan tanpa menyiapkan pendidik untuk lebih terbuka mengubah paradigma mereka, salah satu risiko yang sering terjadi adalah implementasi yang dangkal (superficial) di mana guru menerapkan kurikulum baru dengan paradigma lama (Spillane et al., 2002).

Praktik yang “seolah- olah berubah” ini terjadi sebagai akibat sistem akuntabilitas satuan pendidikan dan guru yang dikaitkan dengan implementasi kurikulum, misalnya performa satuan pendidikan dinilai dari kemampuannya mengikuti arahan untuk mengimplementasikan kurikulum.

Oleh karena itu dalam rangka pemulihan pembelajaran dan upaya untuk meningkatkan kualitas hasil belajar peserta didik, tekanan birokrasi seperti ini tidak dianjurkan dan dihindari dalam kebijakan implementasi Kurikulum Merdeka (Bebas punya pilihan).

5. Indikator Kesiapan Satuan Pendidikan

Berdasarkan kajian kualitatif di sekolah- sekolah yang inovatif, Wilcox dan rekan-rekan (2017) menemui bahwa sekolah-sekolah yang siap untuk menerapkan transformasi pembelajaran memiliki karakteristik yang serupa, yaitu

  • sekolah dengan budaya saling percaya (trust) yang kuat,
  • komunikasi yang terbuka, serta
  • pimpinan yang memiliki visi dan tujuan yang sejalan dengan arah kebijakan.

Dalam sekolah-sekolah yang diobservasi Wilcox dan rekan-rekan tersebut terdapat iklim kerja yang kondusif di mana pimpinan dan guru merasa aman secara psikologis untuk mengimplementasikan suatu kebijakan baru (Bryk et al., 2015; Senge et al., 2012; Wilcox et al., 2017).

Rasa aman ini dipengaruhi oleh rendahnya risiko yang dipersepsikan oleh guru dan kepala sekolah apabila mereka mencoba untuk melakukan perubahan. Dalam kondisi pandemi, sebagian pendidik mungkin merasa terlalu berisiko untuk melakukan suatu perubahan besar, oleh karena itu mewajibkan perubahan kurikulum di satuan pendidikan yang belum siap atau yang tengah menghadapi tantangan besar di masa pandemi COVID-19 adalah strategi yang tidak sejalan dengan upaya pemulihan pembelajaran.

Keputusan untuk menetapkan kurikulum yang akan digunakan satuan pendidikan tidak dibatasi hanya untuk Tahun Ajaran 2022/2023. Artinya satuan pendidikan dapat menggunakan Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran berikutnya (Tahun ini Kurmer bukan pilihan).

Fleksibilitas ini akan memberikan kesempatan kepada satuan pendidikan untuk mempersiapkan diri sebelum berkomitmen untuk melakukan perubahan besar. Memberikan waktu kepada satuan pendidikan dan pendidik untuk menyiapkan diri adalah hal yang sangat kritikal dalam implementasi kurikulum (Tikkanen et al., 2017).

Memberikan waktu kepada satuan pendidikan dapat berarti memberikan kesempatan untuk mereka observasi terlebih dahulu tentang bagaimana Kurikulum Merdeka diimplementasikan di satuan pendidikan lain.

Kurikulum pilihan dan pemerataan pemulihan pembelajaran

Kebijakan implementasi yang longgar dan fleksibel ini dapat menimbulkan pertanyaan terkait kesenjangan kualitas pendidikan. Apabila Kurikulum Merdeka dinilai dapat meningkatkan efektivitas pemulihan pembelajaran, mengapa tidak diwajibkan untuk seluruh satuan pendidikan?

Pertanyaan tersebut muncul dengan dua asumsi yang melandasinya. Asumsi pertama, satuan pendidikan yang siap adalah satuan pendidikan yang sudah maju, berkualitas tinggi, atau dengan sumber daya yang lebih mumpuni.

Asumsi kedua, mewajibkan implementasi kurikulum di seluruh satuan pendidikan adalah strategi pemerataan kualitas pendidikan karena dengan diwajibkan, maka seluruh jajaran pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah akan mengerahkan segala daya dukung implementasi kebijakan tersebut. Namun kedua asumsi tersebut tidak cukup kuat.

Asumsi 1. Faktor Sumber Daya Bukti Kesiapan Satuan Pendidikan

Penelitian di berbagai konteks menunjukkan bahwa sarana prasarana atau tingkat kemewahan satuan pendidikan tidak menjadi faktor yang kuat dalam menentukan kesiapan untuk berinovasi dan bertransformasi.

Penelitian Wilcox dan rekan-rekan (2017) menunjukkan bahwa di sekolah-sekolah yang memiliki banyak tantangan dari segi input pun dapat siap berinovasi. Kajian mereka dilakukan di sekolah-sekolah negeri di Amerika Serikat dengan mayoritas siswanya dari keluarga miskin dan imigran, serta memiliki fasilitas yang terbatas.

Di antara sekolah-sekolah tersebut, Wilcox dan rekan-rekan mendapati kesamaan karakteristik yang menunjukkan kesiapan untuk bertransformasi, yaitu kualitas kepemimpinan satuan pendidikan, komitmen guru-guru, iklim kerja yang penuh rasa saling percaya dan kolaboratif, serta relasi antara sekolah dan orangtua/keluarga siswa dapat terbangun dengan baik.

Hal yang serupa juga ditunjukkan di berbagai konteks lainnya, bahwa kemampuan satuan pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum secara efektif lebih banyak dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan dan budaya kolaborasi dan rasa saling percaya diantara para pendidik dan pimpinan dan juga kualitas kepemimpinan di tingkat daerah (OECD, 2019).

Berdasarkan kajian-kajian tersebut, anggapan bahwa kebebasan satuan pendidikan untuk memilih (menentukan pilihan) apakah akan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka tidak dapat dianggap bias terhadap sekolah-sekolah elit atau sekolah yang berada di kota-kota besar saja.

Lagi pula, memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan untuk memilih bukan berarti pemerintah tidak memberikan dukungan kepada satuan pendidikan untuk menyiapkan diri menggunakan Kurikulum Merdeka.

Bahkan satuan pendidikan yang belum memutuskan untuk menggunakan Kurikulum Merdeka (Kurikulum 2013 sebagai pilihan) pun tetap dapat mengakses berbagai sumber dari pemerintah.

Semua pendidik dapat mengakses informasi dan materi pembelajaran untuk mempersiapkan diri mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, tidak terbatas pada satuan pendidikan yang telah memutuskan untuk menerapkan kurikulum tersebut saja.

Akses ini merupakan upaya untuk memberikan kesempatan yang setara kepada semua satuan pendidikan, pendidik, pemerintah daerah, serta masyarakat untuk mempersiapkan satuan pendidikan untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.

Asumsi 2. Mewajibkan sebagai Pemerataan Kualitas Pendidikan

Kedua, berasumsi bahwa mewajibkan semua sekolah untuk melakukan perubahan bukanlah strategi yang sesuai untuk meningkatkan pemerataan kualitas pembelajaran. Kesenjangan kualitas pendidikan umumnya terjadi akibat keberagaman input, misalnya input siswa dengan latar belakang siswa status ekonomi sosial (SES) yang berbeda, kualitas dan kompetensi guru yang tidak merata, serta disparitas ketersediaan dan kualitas sarana prasarana pendukung pembelajaran.

Input yang bervariasi ini justru membutuhkan Intervensi atau kebijakan yang berbeda-beda (asimetris), agar dapat menghasilkan output hasil belajar peserta didik yang relatif setara.

Dengan demikian, memaksa semua satuan pendidikan untuk melakukan perubahan kurikulum di waktu yang sama tanpa mempertimbangkan kesiapan dan tantangan yang berbeda karena input yang berbeda tadi merupakan strategi kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip pemerataan kualitas belajar.

Dalam kondisi pandemi COVID-19, satuan pendidikan yang mengalami hambatan proses pembelajaran yang lebih besar pada umumnya adalah satuan pendidikan yang melayani peserta didik mayoritas dari keluarga miskin. Berasumsi bahwa mereka sama siapnya untuk mengubah kurikulum yang digunakan adalah asumsi yang kurang hati-hati.

Oleh karena itu, mewajibkan (bukan pilihan) mereka untuk menerapkan Kurikulum Merdeka bisa jadi bukan suatu kebijakan yang berkeadilan.

Alasan Kurikulum Merdeka bukan Wajib

Maka jawaban dari pertanyaan “mengapa tidak diwajibkan?” tadi adalah karena berdasarkan berbagai penelitian dan praktik implementasi kurikulum baru di berbagai konteks, memberikan kuasa atau agency kepada satuan pendidikan adalah strategi yang dinilai lebih efektif daripada kebijakan top-down yang tidak peka terhadap kondisi, situasi, serta konteks di satuan pendidikan (OECD, 2020).

Namun demikian, implementasi ini tidak dibatasi oleh Pemerintah. Tidak ada syarat, keputusan sepenuhnya di tangan satuan pendidikan dan yayasan sekolah swasta. Dengan kata lain, satuan pendidikan manapun yang merasa  siap berhak untuk turut mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.

Dan dari segi waktu, satuan pendidikan yang merasa siap untuk melakukan transformasi dapat menerapkannya pada Tahun Ajaran 2022/2023, sementara yang lain dapat melakukannya di tahun berikutnya.

Kesiapan satuan pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum bukan semata-mata tanggung jawab satuan pendidikan itu sendiri tetapi juga perlu didukung pemerintah serta sistem yang lebih besar, sebagaimana yang dijelaskan dalam Bagian A tentang sistem ekologi implementasi kurikulum (OECD, 2020).

Dukungan ini tidak hanya berupa pelatihan untuk pendidik atau buku teks pelajaran, tetapi juga dukungan kebijakan implementasi kurikulum serta kebijakan lain yang terkait dengan proses implementasi kurikulum. Selain tidak menuntut satuan pendidikan dan pendidik untuk melakukan perubahan besar dalam waktu dekat, satuan pendidikan juga dapat menyesuaikan tingkat kompleksitas perubahan kurikulum yang akan mereka lakukan sesuai dengan kesiapan mereka. Hal ini akan dijelaskan di Bagian C.2 berikut ini.


Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran, 2022

Materi Rancangan Implementasi Kurikulum Merdeka

Loading