Cara Menerapkan Pendekatan Sistem Ekologi Dalam Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar

Pendekatan Sistem Ekologi IKM Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar

Madrasah Digital.net. Kegagalan implementasi kurikulum terkadang bukan karena desain kurikulum, tapi kesalahan dalam strategi implementasi. Sehingga dalam teori implementasi, perlu mengetahui pendekatan Sistem Ekologi dalam IKM atau Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar.


  • Baca juga:

Pendekatan Sistem Ekologi dalam (IKM) Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar

Implementasi kebijakan pendidikan sering dianggap sebagai suatu proses linear satu arah, yaitu   top-down (pemerintah pusat memberikan arahan kepada daerah, satuan pendidikan, dan kemudian kepada pendidik) ataupun bottom-  up (pendidik melakukan inisiatif perubahan yang kemudian ditingkatkan skalanya hingga berujung pada perubahan kebijakan di tingkat pusat).

Pakar (Ball et al., 2012; Bjork, 2016; Bryk et al., 2015; Viennet & Pont, 2017) mengkritik pandangan tersebut, dan berpendapat bahwa implementasi kebijakan adalah interaksi proses yang kompleks antara kebijakan dari pusat, respon dari akar rumput (satuan pendidikan), serta dinamika yang berlangsung sebagai reaksi dari masyarakat, tokoh politik, dan orang tua yang diamplifikasi oleh saluran-saluran media.

Oleh karena implementasi perubahan kurikulum merupakan proses yang dinamis, non-linear,  dan dipengaruhi oleh banyak pemangku kepentingan.

OECD (2020) mengembangkan model sistem ekologi untuk memahami pihak-pihak yang turut berpengaruh dalam keberhasilan implementasi perubahan kurikulum serta interaksi antar pemangku kepentingan di berbagai level.

Model ini diadaptasi dari teori Bronfenbrenner tentang pengaruh lingkungan sosial yang saling berkaitan terhadap perkembangan individu. Model sistem ekologi untuk menjelaskan implementasi kurikulum digambarkan sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 5.1 berikut ini.

Pendekatan Sistem Ekologi Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar

Gambar 5.1. Pendekatan Sistem Ekologi Untuk Implementasi Kurikulum (OECD, 2020)

Gambar 5.1 memperlihatkan lapisan-lapisan sistem yang memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan implementasi kurikulum untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik secara optimal.

Dalam gambar tersebut, peserta didik menjadi pusat (center) dari kebijakan kurikulum karena sejatinya seluruh kebijakan pendidikan mengarah pada keberhasilan peserta didik. Prinsip berpusat pada peserta didik ini digunakan baik dalam perancangan desain kurikulum dan juga implementasinya.

1. Mikrosistem

Mikrosistem. Terletak pada lapisan kedua, mikrosistem adalah hal-hal yang paling berkaitan langsung dengan pembelajaran peserta didik. Terkaitan kurikulum, mikrosistem adalah interaksi antara peserta didik, pendidik, dan materi pelajaran.

Faktor individu pendidik, yaitu kompetensinya, nilai- nilai serta keyakinannya, serta pengalaman personalnya pun termasuk dalam mikrosistem. Kapasitas ini akan mempengaruhi bagaimana pendidik mengimplementasikan kurikulum di kelasnya.

Termasuk juga dalam mikrosistem adalah praktik yang dilakukan guru serta proses yang berlangsung dalam kegiatan belajar intrakurikuler dan projek penguatan profil pelajar Pancasila. Interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa di kelas juga menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan pendekatan pembelajaran ketika kurikulum baru diimplementasikan.

Sebagai contoh, dalam suasana kelas di mana guru menempatkan diri sebagai sumber ilmu pengetahuan dan siswa adalah konsumen ilmu pengetahuan tersebut, pembelajaran yang mendorong nalar kritis dan kreatif akan sulit terbangun (Sahlberg, 2020).

2. Mesosistem

Mesosistem. Lapisan pengaruh berikutnya adalah mesistem, yaitu aspek-aspek kolektif dalam satuan pendidikan. Mesosistem ini menjadi perhatian banyak pakar dalam kajian implementasi kurikulum (misalnya Ball et al., 2012; Bryk et al., 2015; Wilcox et al,, 2017).

Kesiapan sekolah untuk berinovasi salah satunya ditentukan oleh kepemimpinan yang efektif di mana kepala sekolah serta jajarannya membangun budaya belajar di kalangan guru-guru dan berbagai strategi digunakan untuk mentransformasi pembelajaran di kelas.

Kepemimpinan yang menguatkan pembelajaran di kalangan guru akan menimbulkan rasa aman untuk mencoba berinovasi dan mengimplementasikan kurikulum baru (Bryk et al., 2015; OECD, 2019; Wilcox et al., 2017).

Faktor mesosistem lain yang juga penting adalah komunikasi dan budaya kerja di satuan pendidikan. Budaya kerja yang terbuka, saling percaya, serta kolaborasi antar pendidik yang kuat, misalnya, dinilai penting dalam implementasi kurikulum (Bryk et al., 2015; Wilcox et al., 2017).

Budaya ini biasanya juga ditunjukkan dengan kuatnya kolaborasi antar guru dan kemampuan mereka bekerja sebagai tim yang juga menjadi faktor pendorong implementasi kurikulum (Cheung & Wong, 2012; OECD, 2019).

Yang juga berdampak positif pada implementasi inovasi pendidikan di satuan pendidikan adalah keterbukaan dan rasa percaya antara pendidik dengan orang tua (Mapp & Kuttner, 2013).

3. Eksosistem

Eksosistem. Sistem yang lebih luar, yaitu eksosistem, adalah representasi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta kebijakan-kebijakan pendidikan yang secara langsung berpengaruh pada implementasi kurikulum, dan dalam konteks Indonesia adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP) khususnya Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian.

Keempat standar tersebut menjadi rujukan dalam perancangan kurikulum, sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab 3 (Perancangan Kurikulum Merdeka).

Contoh lain kebijakan yang perlu selaras (aligned) dengan implementasi kurikulum antara lain adalah tentang beban kerja guru yang mungkin berubah sebagai akibat dari perubahan  struktur kurikulum, penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang perlu selaras dengan kegiatan pembelajaran intrakurikuler dan projek penguatan profil pelajar Pancasila, termasuk juga penerimaan peserta didik baru yang perlu berubah sebagai akibat perubahan struktur kurikulum di SMA/MA.

Apabila kebijakan-kebijakan ini tidak selaras dengan arah kebijakan Kurikulum Merdeka, maka implementasi kurikulum juga akan terhambat atau tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Termasuk juga dalam eksosistem adalah peran masyarakat termasuk universitas, organisasi non-profit, industri, serta pihak- pihak yang mendampingi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

Mereka berperan dalam memberikan dukungan melalui peningkatan kapasitas guru serta dukungan bentuk lainnya seperti sarana dan prasarana pembelajaran yang kemudian mempengaruhi proses pembelajaran dan implementasi kurikulum di satuan pendidikan.

Organisasi- organisasi ini juga ada yang berperan sebagai perantara (intermediary) antara institusi sekolah dengan keluarga yang menjadi penting untuk membangun pemahaman yang sama antara orang tua dan guru tentang perubahan kurikulum dan implikasinya terhadap pembelajaran peserta didik (Lopez et al., 2005).

4. Makrosistem

Makrosistem. Sebagai bagian terluar dalam sistem berlapis dari model ekologi, makrosistem adalah ideologi budaya dan sosial serta keyakinan yang mempengaruhi sistem pendidikan, proses pembelajaran, dan juga lingkungan belajar peserta didik.

Pandangan masyarakat tentang peran pendidikan serta diskursus publik yang dominan tentang pendidikan yang ideal dapat mempengaruhi proses pemaknaan kurikulum di satuan pendidikan.

Sebagai contoh, keselarasan antara paradigma guru, orang tua, dan masyarakat tentang kemampuan apa yang penting untuk dikembangkan peserta didik akan mempengaruhi keberlangsungan kebijakan kurikulum baru (Bjork, 2016).

Dalam studinya tentang relaksasi kebijakan kurikulum di Jepang, Bjork (2016) menemukan bahwa kebijakan yang sebenarnya ditujukan untuk penguatan kompetensi dan kesejahteraan (well-being) generasi muda tidak selaras dengan paradigma pemangku kepentingan tersebut tentang pendidikan.

Kurikulum tersebut dirancang untuk merelaksasi muatan dan proses belajar, salah satunya melalui unit pelajaran yang terintegrasi. Dengan pengurangan beban belajar Harapannya tingkat kelelahan baik fisik maupun mental anak-anak muda di Jepang dapat menurun.

Namun demikian perubahan ini tidak selaras dengan paradigma pemangku kepentingan yang utama, yaitu orang tua bahkan juga guru. Bagi guru dan juga orang tua, hal yang paling utama dalam pendidikan menengah, terutama jenjang SMA, adalah kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat bersaing masuk perguruan tinggi yang terbaik.

Oleh karena itu, kebijakan yang meringankan beban belajar siswa tersebut justru dianggap kontraproduktif. Ketidakselarasan antara kebijakan kurikulum dengan paradigma merupakan tantangan makrosistem dalam perubahan kurikulum.

5. Kronosistem

Kronosistem. Dalam konteks implementasi kurikulum, kronosistem berkaitan dengan konteks waktu (OECD, 2019). Waktu  adalah hal yang sangat esensial dalam melakukan perubahan kurikulum karena guru membutuhkan waktu untuk memproses perubahan yang disampaikan pada mereka. Tanpa adanya waktu yang mencukupi, guru- guru merasa frustasi dan menolak perubahan (Cheung & Wong, 2012; Wilcox et al., 2017).

Untuk membangun rasa percaya diri dan rasa nyaman untuk mengimplementasikan perubahan, waktu adalah aset yang perlu dimanfaatkan secara strategis oleh pembuat kebijakan (Tikkanen et al., 2017).

Pendekatan Sistem Ekologi (IKM) dan Konteks Waktu

Setiap lapis sistem memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung serta berinteraksi satu sama lain dan mempengaruhi implementasi kurikulum. Waktu juga mempengaruhi hubungan atau interaksi dalam sistem dan antara sistem yang makro dengan yang lebih mikro. Misalnya, implementasi kurikulum dapat dipengaruhi oleh konteks pandemi COVID-19 sehingga setelah pandemi berakhir, moda pembelajaran dan interaksi antara guru dan siswa berubah. Implementasi kurikulum juga mungkin berubah. Oleh karena itu, penting untuk menyertakan konteks waktu dalam strategi dan analisis implementasi kurikulum dari waktu ke waktu.

Pendekatan sistem ekologi untuk implementasi kurikulum (OECD, 2020) berguna untuk mengidentifikasi masalah implementasi serta menentukan strategi implementasi yang lebih komprehensif (termasuk IKM), tidak hanya menargetkan proses yang berkaitan langsung dengan pembelajaran di kelas. Menggunakan perspektif sistem ekologi ini, perancang kurikulum dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman, penerimaan, serta keputusan pendidik dan juga pimpinan satuan pendidikan dalam merespon kebijakan baru yang perlu mereka implementasikan. Proses ini dikenal sebagai sense-making process atau proses pemaknaan kebijakan (Spillane, 2004).


Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran, 2022

Materi Rancangan Implementasi Kurikulum Merdeka

Loading