Proses Pemaknaan pada Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar Oleh Guru

Proses Pemaknaan IKM Kebijakan Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar

Madrasah Digital.net. Kerangka Teori Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar yang kedua adalah Proses Pemaknaan pada IKM implementasi Kurikulum Merdeka Belajar. Pada pembahasan sebelumnya Terkait Pendekatan Sistem Ekologi dalam Implementasi Kurikulum Merdeka.


Proses Pemaknaan pada Kebijakan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM)

Pakar sepakat bahwa guru adalah pusat dari implementasi perubahan kurikulum, sebagaimana siswa adalah pusat dari proses pembelajaran (Kneen et al., 2021; Spillane et al., 2002). Ketetapan, peraturan, serta dokumen kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah akan melewati proses pemaknaan oleh satuan pendidikan dan pendidik (Ball, 2005).

Kompleksitas proses implementasi (kurikulum merdeka) di tingkat satuan pendidikan terjadi sejak para pelaku kebijakan di tingkat lokal (guru, kepala sekolah, pemerintah daerah) menginterpretasi atau memaknai kebijakan (Spillane et al., 2002).

Proses pemaknaan (sensemaking) kebijakan menjadi semakin kompleks dengan adanya perdebatan, kesepakatan, dan kompromi antar berbagai pihak baik di dalam satuan pendidikan maupun antara satuan pendidikan dengan pemerintah daerah dan/atau pusat dan juga antara pemerintah dan masyarakat.

Oleh karena itu, satu kebijakan pendidikan dari pusat sebenarnya tidak pernah tunggal, melainkan melahirkan kebijakan-kebijakan yang beragam karena adanya proses interpretasi dan negosiasi tersebut (Ball, 2005). Satu kebijakan tersebut pun terus berdinamika dari waktu ke waktu atau yang disebut dengan pengaruh dari kronosistem dalam pendekatan sistem ekologi (Gambar 5.1).

Tiga Pengaruh terhadap Proses Pemaknaan Kebijakan (IKM)

Spillane dan rekan-rekan (2002) mengembangkan kerangka teori untuk memahami proses pemaknaan (sensemaking) yang dilakukan oleh para pelaku kebijakan di tingkat lokal. Menurut mereka, ada tiga pengaruh terhadap pemaknaan kebijakan, yaitu:

1. Individual Cognition

(1) interpretasi yang dilakukan setiap individu (individual cognition) yang terjadi ketika individu mempelajari kebijakan dengan dipengaruhi oleh pengetahuannya, pengalaman, nilai-nilai, serta keyakinannya tentang tujuan pendidikan, makna pembelajaran, serta peran mereka sebagai pendidik;

2. Situated Cognition

(2) interpretasi yang dilakukan karena pengaruh situasi (situated cognition) atau interaksi individu dengan situasi di sekitarnya, sesuai dengan konteks tempat ia bekerja; dan

3. Representasi Pembuat Kebijakan

(3) peran representasi pembuat kebijakan yang membantu dalam proses interpretasi, memfasilitasi proses pemahaman kebijakan  tersebut. Termasuk dalam representasi tersebut adalah pelatihan dan peran pemerintah daerah dalam mendampingi proses implementasi kebijakan.

Kerangka Spillane dan rekan-rekan ini selaras dengan kerangka teori sistem ekologi (OECD, 2020) yang membagi faktor pengaruh implementasi kurikulum menjadi beberapa lapisan (lihat Gambar 5.1).

Guru dan Proses Pemaknaan Kebijakan Implementasi Kurikulum Merdeka

Kerangka tentang proses pemaknaan kebijakan (termasuk implementasi kurikulum merdeka) oleh guru tersebut setidaknya menunjukkan dua hal besar.

1. Guru Punya Kendali dan Kuasa

Pertama, guru adalah pihak yang memiliki kuasa atau kendali (agency). Dengan kendalinya tersebut, secara aktif mereka dapat memaknai dan mengambil keputusan bagaimana kebijakan yang sampai di tangan mereka akan direspon.

Mereka memiliki kuasa untuk menentukan apakah kebijakan tadi akan dilaksanakan sesuai dengan arahan pemerintah sepenuhnya, akan dimodifikasi sesuai dengan situasi dan konteks yang mereka hadapi, atau akan didiamkan saja seolah-olah berubah padahal masih melakukan praktik yang sama (Kneen et al., 2021; Spillane, 2004; Wilcox et al., 2017).

2. Perlu Dukungan Dari Pemerintah atau Organisasi lainnya

Kedua, meskipun proses pemaknaan kebijakan dilakukan oleh guru di tingkat satuan pendidikan, proses ini tidak hanya mengandalkan sumber daya yang ada di satuan pendidikan (mesosistem), tetapi juga dukungan pemerintah dan organisasi lainnya (eksosistem) yang dapat membantu guru memahami kebijakan kurikulum yang baru tersebut.

Pada sisi sebaliknya, tantangan dan hambatan implementasi kurikulum juga demikian, dapat terjadi akibat pengaruh eksosistem dan makrosistem.

Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pandangan negatif masyarakat terhadap perubahan kurikulum, misalnya, dapat mempengaruhi proses sensemaking ketika guru dan kepala sekolah terpengaruh oleh pandangan tersebut atau khawatir akan kehilangan legitimasi publik apabila mereka tetap melaksanakan arahan pemerintah untuk mengimplementasi kurikulum (Ball et al., 2012).

Ketika memaknai suatu kebijakan, pendidik tidak semata-mata menggunakan kognisinya atau pemahaman pribadinya tentang isi kebijakan tersebut. Mereka juga mempertimbangkan lingkungan di sekitarnya serta situasi yang kompleks dan dinamis yang harus mereka hadapi setiap hari (Lipsky, 1981; Wilcox et al., 2017).

Dinamika Keputusan Guru dan Kebijakan Pemerintah

Guru dengan kuasa (agency) yang dimilikinya menjadikan mereka sebagai birokrat akar rumput (street-level bureaucrats) (Lipsky, 1980).

Sebagai birokrat akar rumput, guru lah yang pada akhirnya dapat menilai apakah Capaian Pembelajaran telah digunakan dan secara efektif dapat mengembangkan kompetensi siswa, menentukan apakah projek penguatan profil pelajar Pancasila perlu diimplementasikan sebagaimana yang dianjurkan, dan seterusnya.

Keputusan-keputusan yang mereka buat pada akhirnya menjadi kebijakan yang diimplementasikan secara nyata, atau yang disebut Stephen Ball (2005) sebagai kebijakan yang sebenarnya.

Keputusan-keputusan yang dibuat oleh birokrat akar rumput tidak selalu sejalan atau mendukung kebijakan pusat.

Namun demikian, hal ini tidak dapat selalu dianggap sebagai penolakan atau kesengajaan untuk menentang dan mengacuhkan arahan.

Lipsky (1980) dan Spillane (2004) menjelaskan bahwa profesi pelayan publik seperti guru, perawat, pekerja sosial, polisi, dan pekerjaan lain yang berinteraksi langsung dengan masyarakat seringkali tidak dapat memenuhi ekspektasi pemerintah pusat dalam hal implementasi kebijakan akibat situasi yang mereka hadapi.

Mereka harus berhadapan dengan berbagai kejadian yang membutuhkan kemampuan improvisasi dan kemahiran untuk dapat memberikan respon cepat, sementara kebijakan yang diarahkan untuk mereka patuhi dirancang dengan asumsi bahwa pekerjaan mereka tersebut stabil dan monoton.

Maka dari itu, keputusan yang dibuat oleh birokrat akar rumput seringkali berbeda dengan apa yang diinginkan pemerintah pusat karena kompleksitas situasi yang harus dihadapi guru seringkali menuntut mereka untuk mengabaikan kebijakan, memodifikasinya, mengubah arahnya, atau mengimplementasikannya hanya di permukaan yang kasat mata saja (Spillane et al., 2002)

Dampak Perubahan yang Banyak dan Cepat bagi Guru

Perubahan yang terlalu banyak dan  harus dilakukan dalam waktu yang terlalu cepat menyebabkan guru frustasi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan baru. Rasa putus asa dan kelelahan yang dirasakan oleh birokrat akar rumput ini membawa dampak negatif yang lebih signifikan.

Dalam keadaan terpaksa untuk melakukan perubahan dan kesulitan untuk mengimplementasikan kurikulum, satuan pendidikan dan guru dengan agency yang mereka miliki akan cenderung mencari jalan yang paling mudah untuk menerapkan kurikulum.

Cara yang mudah ini biasanya adalah pendekatan yang nyaris serupa dengan praktik-praktik yang sudah pernah dilakukan atau status quo (Tyack & Cuban, 1997; Wilcox et al., 2017), sehingga pada akhirnya kebijakan baru tidak menghasilkan perubahan apapun di ruang kelas.

Menyadari agency yang dimiliki para birokrat akar rumput serta tantangan implementasi kurikulum di berbagai negara dari waktu ke waktu, tren strategi implementasi kebijakan pendidikan saat ini bergerak dari implementasi secara taat (implementation fidelity) menuju implementasi dengan integritas (implementation integrity) (OECD, 2020).

Semula satuan pendidikan dan guru diharapkan untuk mengimplementasikan kebijakan dengan mematuhi sepenuhnya arahan yang teknis dan konkret, namun pendekatan itu semakin ditinggalkan oleh banyak negara.

Berdasarkan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa pendekatan top-down seperti tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka pendekatan yang digunakan adalah memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan dan pendidik untuk mengadaptasi kebijakan dari pemerintah pusat sesuai dengan konteks masing-masing dan tetap selaras (kongruen atau sebangun) dengan tujuan dan prinsip-prinsip yang ditetapkan (Bryk et al., 2015; OECD, 2019).

Dengan kata lain,  arah kebijakan implementasi kurikulum yang berkembang saat ini (IKM) adalah pendekatan yang memberikan kewenangan atau kendali (agency) kepada kepala sekolah dan guru di satuan pendidikan (dalam Proses Pemaknaan).

Langkah ini pula yang menjadi pilihan strategi untuk implementasi Kurikulum Merdeka, yaitu memberikan pilihan kepada satuan pendidikan (dijelaskan lebih mendalam di bagian 3 Bab 5).

Implikasi Proses Pemaknaan Kebijakan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM)

Implikasi dari pemahaman tentang teacher agency dan proses sensemaking kebijakan perlu direspon oleh pembuat kebijakan. Pemerintah pusat perlu memberikan ruang kepada pendidik dan satuan pendidikan untuk mengimplementasikan perubahan kurikulum secara fleksibel (Kneen et al., 2021) serta memberikan waktu untuk mereka untuk memaknai kurikulum (Spillane, 2004).

Satuan pendidikan dan guru perlu diberikan wewenang, tanggung jawab, sekaligus ruang untuk menyesuaikan implementasi kurikulum dengan konteks dan situasinya di tingkat lokal.

Konteks yang dimaksud tidak sebatas pada institusi atau sistem pendidikan tetapi juga faktor budaya secara umum (makrosistem) yang mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku.

Bagian berikutnya akan membahas faktor budaya tersebut dan dampaknya terhadap implementasi kebijakan.


Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran, 2022

Materi Rancangan Implementasi Kurikulum Merdeka

Loading