Teori Keselarasan Kebijakan Kurikulum Merdeka Dengan Budaya Institusi Pendidikan

Keselarasan IKM dan Budaya Institusi Pendidikan Kurikulum Merdeka Belajar

Madrasah Digital.net. Topik ketiga terkait Kerangka Teori Implementasi Kurikulum yaitu Keselarasan Kebijakan (IKM Implementasi Kurikulum Merdeka) dan Budaya Institusi Pendidikan. Sebelumnya menjelaskan 2 tema yaitu pendekatan teori ekologi, dan Proses Pemaknaan Kebijakan.


Pengaruh Budaya terhadap Kebijakan Kurikulum (Penelitian Bjork)

Di atas telah dijelaskan secara ringkas kompleksitas proses implementasi dari perspektif psikologi sosial. Terkait dengan agensi/kendali guru dan proses pemaknaan kebijakan, perspektif budaya dan sejarah juga menjadi faktor yang penting dalam strategi implementasi kurikulum.

1. Budaya dan Sejarah terhadap Kebijakan

Berdasarkan sistem ekologi (Gambar 5.1), konteks juga berkaitan dengan budaya (makrosistem) dan sejarah (kronosistem) perkembangan sistem pendidikan Indonesia yang mempengaruhi dan menambah kompleksitas proses implementasi kebijakan (termasuk Kurikulum ).

Tantangan implementasi juga dapat disebabkan oleh sistem yang paling makro yaitu budaya, nilai, serta keyakinan masyarakat umum tentang bagaimana pendidikan seharusnya dikelola (Benavot & Resh, 2003). Budaya di luar institusi pendidikan juga memiliki pengaruh besar terhadap implementasi kurikulum (Bjork, 2005).

2. Pengaruh Budaya terhadap Kebijakan Kurikulum Nasional

Penelitian yang dilakukan oleh Bjork (2005) menunjukkan signifikansi budaya makro Indonesia terhadap implementasi kebijakan kurikulum nasional (bisa juga kurikulum merdeka) yang saat itu dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan beserta muatan lokal yang perlu dikembangkan di tingkat daerah dan/atau satuan pendidikan.

Bjork melakukan kajian kualitatif yang mendalam tentang bagaimana daerah dan satuan pendidikan merespon kebijakan tentang muatan lokal sebagai bagian dari reformasi desentralisasi pendidikan di Indonesia. Desentralisasi pendidikan memberikan ruang kepada guru dan sekolah untuk mengambil peran yang lebih besar dalam pengembangan kurikulum.

Pemerintah daerah diharapkan melibatkan guru dan masyarakat untuk merancang pembelajaran yang kontekstual  dan relevan dengan kebutuhan peserta didik di lingkungan setempat.

Secara resmi, peraturan memberikan kewenangan yang besar kepada guru untuk menjadi perancang kurikulum. Namun demikian, di tingkat lokal kebijakan tersebut tidak direspon sesuai harapan pemerintah pusat.

3. Ketidaksepahaman Budaya Politik dengan Sistem Pendidikan Nasional

Menggunakan perspektif budaya dan sejarah perkembangan sistem pendidikan Indonesia, Bjork (2005) menjelaskan masalah ketidaksepadanan antara budaya politik dalam sistem pendidikan Indonesia dengan kebijakan desentralisasi yang dikeluarkan pemerintah pusat (seperti kurikulum).

Perencanaan di tingkat lokal satuan pendidikan yang partisipatif tidak pernah dibangun dalam sistem pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan relatif tertutup dan guru- guru diharapkan untuk mengikuti arahan dari pusat, sehingga perancangan kurikulum secara partisipatif dalam era desentralisasi pendidikan di awal tahun 2000-an adalah sesuatu yang baru dan asing bagi budaya institusi pendidikan.

4. Pentingnya Kesebangunan antara Budaya dengan Kebijakan Kurikulum Merdeka

Almond dan Verba (1989) menteorikan pentingnya kesebangunan (congruency) antara budaya politik dengan kebijakan. Teori mereka banyak digunakan dalam kajian kebijakan publik dan menunjukkan bahwa suatu kebijakan cenderung tidak akan bertahan lama dalam tahap implementasi apabila kebijakan tersebut tidak kongruen, sebangun, atau sepadan dengan budaya politik yang lebih makro.

Kebijakan tersebut akan diperkenalkan, diimplementasi dalam waktu yang relatif singkat, dan kemudian guru kembali pada tradisi lama (Steiner-Khamsi & Stolpe, 2014).

Kajian Bjork (2005) yang dilakukan di Indonesia, terutama di wilayah dengan mayoritas budaya masyarakat Jawa, sejalan dengan teori Almond dan Verba tersebut. Bjork memandang bahwa kebijakan yang dibuat di pusat kurang memahami situasi dan konteks budaya di mana guru bekerja.

5. Kebijakan Muatan Lokal

Kebijakan tentang muatan lokal yang dirancang di tingkat pusat mengharapkan agar daerah (pemerintah daerah dan satuan pendidikan) mengembangkan kurikulum secara partisipatif dan autentik sesuai dengan kebutuhan, minat, dan potensi lokal. Namun demikian, pada kenyataannya semua sekolah (SMP) yang diamati Bjork (2005) tidak melakukan hal tersebut.

Yang mereka lakukan adalah menggunakan materi pelajaran muatan lokal yang sama dengan Kurikulum 1994, meskipun kerangka besar kurikulum nasional telah berganti. Dengan kata lain, tidak ada perubahan proses pengembangan kurikulum muatan lokal, bahkan tidak ada perubahan yang signifikan dari isi atau muatan pelajarannya.

Hal ini memperlihatkan bahwa perubahan kebijakan tidak menghasilkan perubahan yang nyata di satuan pendidikan.

Menurut Bjork, ekspektasi pemerintah pusat tidak terwujud di tingkat lokal dikarenakan konsep otoritas lokal untuk mengembangkan kurikulum adalah konsep yang asing dan tidak wajar bagi pendidik dan tenaga kependidikan di tingkat lokal.

Sejarah panjang sistem pendidikan Indonesia yang tersentralisasi dengan menekankan pentingnya kepatuhan (compliance) pada arahan pimpinan dan aturan dari pemerintah pusat tidak menyiapkan pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan pendidik untuk memegang kendali dalam kurikulum.

6. Guru dan Kesiapan secara Budaya

Kesiapan yang dimaksud bukan tentang kemampuan secara kognitif dan teknis untuk memegang kendali tetapi kesiapan secara budaya. Bjork menemukan bahwa bahkan guru pun tidak berharap mereka memiliki agency atau kendali untuk menentukan kurikulum. Mereka tidak antusias untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan apa yang perlu dipelajari peserta didik mereka.

Terlepas apakah guru memiliki kompetensi untuk mengendalikan kontrol yang diberikan kepadanya, secara budaya mereka tidak melihat dirinya sebagai pihak yang perlu dan pantas berinisiatif untuk berpartisipasi aktif.

Sebagai abdi negara, mereka siap untuk transmit (menghantarkan, meneruskan) ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kebangsaan kepada peserta didik, bukan transform (mengubah) apa yang biasa mereka lakukan. Kebijakan desentralisasi dan kurikulum tingkat satuan pendidikan memberikan agency kepada guru untuk mengambil peran dalam mengembangkan kurikulum.

7. Ketidakselarasan Budaya Masyarakat dan Kebijakan Kurikulum (Kurang ada Keselarasan Nasional dan IKM)

Kajian Bjork (2005) di atas menunjukkan adanya ketidakselarasan (Kurang ada keselarasan) antara budaya masyarakat (makrosistem) dengan kebijakan kurikulum (termasuk IKM atau kurikulum merdeka)

Budaya hierarkis yang cenderung tunduk pada pihak yang dinilai lebih tinggi posisinya tidak sebangun (kongruen) dengan kebijakan desentralisasi yang memberikan otonomi besar kepada satuan pendidikan untuk merancang kurikulum.

Temuan ini dapat menjadi tantangan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka yang mengedepankan keleluasaan satuan pendidikan dan guru untuk mengembangkan dan mengelola kurikulumnya secara mandiri dan partisipatif.

Meskipun kajian tersebut dilakukan lebih dari lima belas tahun yang lalu, namun (kebijakan) perancang strategi implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) tetap perlu mempertimbangkan faktor budaya makro ini sebab perubahan budaya terjadi relatif (proses keselarasan) lambat.

Keselarasan Budaya dan Kebijakan Kurikulum Merdeka (IKM)

Sejauh ini dapat disimpulkan tiga hal.

Pertama, bagi pendidik dan satuan pendidikan, implementasi kurikulum adalah suatu proses belajar, atau disebut sebagai proses pemaknaan (sensemaking).

Kedua, upaya untuk mengendalikan proses implementasi sepenuhnya secara top-down bukan saja sulit dilakukan tetapi akan mengarah pada kesia-siaan (Ball et al., 2012; Honig, 2006; Tyack & Cuban, 1997). Pembuat kebijakan tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa pada akhirnya gurulah yang memegang kendali tentang bagaimana kurikulum akan diimplementasikan.

Rancangan implementasi disusun dengan kesadaran bahwa dokumen kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik dokumen Ketetapan Menteri, panduan- panduan, serta materi-materi pelatihan akan dipelajari atau melewati proses interpretasi oleh guru, kepala sekolah, bahkan oleh pihak- pihak yang memfasilitasi proses implementasi misalnya narasumber, pelatih guru, dan sebagainya.

Ketiga, teori sistem ekologi serta keselarasan antara budaya dan kebijakan yang telah disampaikan secara ringkas di atas menjelaskan bahwa konteks sosial dan budaya penting untuk diperhatikan dalam merancang strategi implementasi perubahan kurikulum.

Satu konteks lain yang penting untuk diperhatikan adalah kondisi Indonesia yang masih dilanda pandemi COVID-19 yang menyebabkan ketertinggalan pembelajaran dan memperburuk krisis pendidikan (lihat Bab 2).


Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran, 2022

Materi Rancangan Implementasi Kurikulum Merdeka

Loading