Perumusan Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka di Naskah Akademik 2024

KurikulumMerdeka2024. Naskah Akademik Kurikulum Merdeka pada struktur intrakurikuler membahas tentang Perumusan Capaian Pembelajaran atau CP.

Kurikulum Merdeka dan Perumusan Capaian Pembelajaran (CP)

Perumusan CP. Perubahan lain yang signifikan dari KI-KD menjadi CP adalah format penulisan kompetensi yang ingin dicapai serta rentang waktu yang ditargetkan untuk mempelajarinya. Dalam KI-KD Kurikulum 2013, kompetensi- kompetensi yang dituju disampaikan dalam bentuk kalimat tunggal yang disusun dalam poin-poin.

Selain itu, dalam KI-KD terdapat pemisahan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagaimana Taksonomi Bloom juga memisahkan ketiga domain tersebut.

Meskipun dalam Kurikulum 2013 kompetensi (KI-KD) tersebut sebenarnya saling berkaitan dan berangkaian. Namun demikian, ketika KI-KD dituliskan sebagai poin-poin, keterkaitan antara ruang lingkup kemampuan satu dengan yang lain tidak terdefinisikan dengan jelas.

Evaluasi Kurikulum 2013 yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbudristek mendapati bahwa sebagian guru belum melihat adanya rangkaian yang utuh antara KD-KD dari satu KI yang sama. Target kompetensi tersebut kemudian ditargetkan untuk dicapai dalam rentang waktu satu tahun ajaran.

CP ditulis dalam metode yang berbeda, di mana pemahaman, sikap atau disposisi terhadap pembelajaran dan pengembangan karakter, serta keterampilan yang terobservasi atau terukur ditulis sebagai suatu rangkaian. Hal ini merujuk pada makna kompetensi yang lebih dari sekadar perolehan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mengolah dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, sikap, serta nilai-nilai yang dipelajari untuk menghadapi situasi atau permasalahan yang kompleks (OECD 2019; Glaesser, 2018).

CP dirumuskan dalam bentuk paragraf/narasi untuk menggambarkan rangkaian konsep dan keterampilan kunci yang ditargetkan untuk diraih oleh peserta didik yang ditunjukkan dengan performa yang nyata. Dengan demikian, CP diharapkan dapat memperlihatkan rangkaian proses belajar suatu konsep ilmu pengetahuan, mulai dari memahami suatu konsep sampai dengan menggunakan konsep ilmu pengetahuan dan keterampilannya untuk mencapai tuntutan kognitif yang lebih kompleks (misalnya mengajukan solusi kreatif, bukan sekadar menjawab pertanyaan).

Kompetensi juga terbangun atas aspek kognitif yang berangkaian dengan aspek afektif atau disposisi tentang ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Daftar berisi pengetahuan yang perlu dipahami, sikap yang perlu ditunjukkan, atau keterampilan yang perlu diperlihatkan peserta didik saja, tanpa ada rangkaian antara ketiga domain tersebut, belum dapat dimaknai sebagai pengkonstruksian kompetensi.

Untuk membangun dan mengembangkan kompetensi, peserta didik perlu mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya dalam situasi yang spesifik dan nyata (Glaesser, 2018).

Dengan menggunakan paragraf, keterkaitan antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan proses pengembangan kompetensi menjadi lebih jelas dan utuh sebagai satu rangkaian.

“Memahami” dalam konstruktivisme adalah proses mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman nyata. Pemahaman tidak bersifat statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan sepanjang peserta didik mengonstruksikan pemahaman dan pengalaman baru yang memodifikasi pemahaman sebelumnya. Pemahaman yang bermakna ini membutuhkan proses belajar yang berpusat pada peserta didik.

Dalam penulisannya, struktur CP tidak berdasarkan domain-domain pemahaman, sikap/disposisi, dan keterampilan, melainkan berbasis pada kompetensi dan/atau konsep yang esensial dari setiap mata pelajaran. Kompetensi dan konsep tersebut disebut sebagai elemen- elemen yang menjadi ciri khas setiap mata pelajaran, dan elemen ini kemudian dinyatakan perkembangannya dari satu fase ke fase berikutnya.

Dengan demikian, setiap elemen secara konsisten dipelajari oleh peserta didik mulai dari jenjang SD sampai jenjang SMA dengan kompleksitas dan kedalaman yang berbeda, yang artinya kompetensi peserta didik pun berkembang dari fase ke fase.

Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat 4 elemen utama, yaitu:

1) menyimak, 2) membaca dan memirsa, 3) berbicara dan merepresentasikan, dan 4) menulis.

Sejak Fase A (kelas I-II SD/sederajat) hingga Fase F (kelas XI-XII SMA/sederajat), keempat elemen tersebut dipelajari dengan tingkat kompleksitas kognitif yang terus berkembang.

Bagi guru dan pengembang kurikulum, elemen ini dapat menjadi acuan tentang kompetensi apa saja yang harus ia ajarkan kepada siswa dan menjadi aspek yang diuji untuk diketahui capaiannya oleh guru.

Apabila ada siswa yang belum dapat mengikuti pelajaran di suatu Fase, guru dapat mengecek elemen apa yang belum dikuasai siswa tersebut dan kemudian membantunya untuk mengulang pembelajaran elemen yang sama di fase sebelumnya.

Alur perkembangan Capaian Pembelajaran dimulai pada Fase A hingga fase tertinggi, yaitu Fase F. Pemberlakuan yang sama juga terjadi pada SLB, meski pada SLB, CP yang digunakan mengacu pada usia mental. Hal ini disebabkan umumnya peserta didik di SLB mengalami hambatan intelektual. American Psychiatric Association mengacu pada DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) pada tahun 2013 menyatakan bahwa disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual) adalah gangguan yang muncul selama periode perkembangan yang mencakup defisit fungsi intelektual dan adaptif dalam domain konseptual, sosial, dan praktis.

Di sisi lain, peserta didik berkebutuhan khusus yang tidak mengalami hambatan intelektual di satuan pendidikan khusus (SLB) maupun satuan pendidikan umum dapat menggunakan CP yang sama dengan peserta didik pada di sekolah umum.

Pola perumusan CP ini juga dipengaruhi oleh beberapa kerangka kurikulum yang digunakan di berbagai negara dengan pencapaian pendidikan yang relatif tinggi.

Sebagai contoh, Australia (https://www.australiancurriculum.edu. au/) menyatakan karakteristik utama dari setiap mata pelajaran dalam dokumen standarnya (setara dengan CP), termasuk alasan rasional mengapa anak-anak perlu mempelajari mata pelajaran tersebut dan domain atau elemen utama yang menjadi karakteristik khas mata pelajaran tersebut disertai perkembangannya dari satu tahapan atau jenjang ke tahapan berikutnya.

Dengan adanya perkembangan domain-domain isi dan/atau kompetensi suatu mata pelajaran, kompetensi utama yang akan dikembangan melalui mata pelajaran tersebut menjadi lebih eksplisit.

Pendekatan yang sama juga digunakan dalam kurikulum di Finlandia (Finnish Board of Education, 2014), di mana standar yang perlu dicapai disampaikan secara deskriptif mulai dari penjelasan tentang fungsi dari mata pelajaran tersebut, kompetensi utama yang difokuskan, capaian atau tujuan untuk kompetensi tersebut, panduan atau rambu-rambu yang perlu diperhatikan guru atau pengembang silabus dan kegiatan pembelajaran mata pelajaran tersebut, dan asesmen yang dianjurkan.

Semua komponen tersebut dijelaskan untuk setiap tahapan perkembangan (dalam Kurikulum Merdeka diadaptasi sebagai fase). Sebagai standar yang berlaku nasional, capaian merupakan tujuan yang lebih abstrak daripada tujuan pembelajaran yang dikembangkan guru dalam silabus apalagi RPP.

Contoh lain adalah standar capaian pendidikan Matematika yang dikembangkan oleh NCTM (National Council of Teachers of Mathematics), yang dianjurkan untuk diterapkan secara global. Standar yang dirancang NCTM dibangun dengan asumsi bahwa setiap anak dapat mencapai kompetensi yang ditetapkan. Oleh karena itu, standar yang ditetapkan NCTM merupakan standar minimum yang inklusif.

Paradigma ini juga sejalan dengan prinsip perancangan Kurikulum Merdeka yang inklusif dan berkeadilan. Standar yang ditetapkan NCTM juga distrukturkan berdasarkan domain konten dan domain kemampuan (performance). Struktur ini menjadi salah satu rujukan utama dalam CP Matematika.


Sumber: Buku Kajian Akademik Kurikulum Merdeka 2024

Loading