Pengurangan Konten di Intrakurikuler pada Naskah Akademik Kurikulum Merdeka 2024

KurikulumMerdeka2024. Naskah Akademik Kurikulum Merdeka pada struktur kurikulum merdeka membahas tentang pengurangan konten pada kompetensi intrakurikuler

Konten Intrakurikuler di Kurikulum Merdeka 2024

Pengurangan konten. Konsekuensi dari pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi adalah perlunya pengurangan materi pelajaran atau pokok bahasan. Ketika pelajaran disampaikan dengan terburu-buru, peserta didik tidak memiliki cukup waktu untuk memahami konsep secara mendalam, yang sebenarnya sangat penting untuk menguatkan fondasi kompetensi mereka.

Pritchett dan Beatty (2015) menemukan bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan memahami konsep di kelas-kelas awal di sekolah dasar juga mengalami kesulitan di jenjang-jenjang berikutnya. Artinya, padatnya materi pelajaran membawa dampak yang panjang dan peserta didik kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi.

Beberapa contoh konkret penyederhanaan dan penyesuaian kompetensi dan materi ajar dalam CP adalah pengurangan beberapa materi dalam CP Biologi SMA (Fase F) karena terlalu banyak dan terlalu terperinci untuk jenjang tersebut.

Pengurangan konten juga upaya tindak lanjut evaluasi Kurikulum 2013 yang dianalisis memiliki beban materi yang terlalu banyak.

Selain itu, perlu diingat bahwa tujuan dari perumusan kompetensi adalah agar peserta didik punya bekal menjadi pembelajar sepanjang hayat dan meningkatkan well-being, bukan menjadi pakar di berbagai bidang.

Pada kompetensi terkait mata pelajaran PJOK misalnya, fokusnya adalah bukan pada kompetisi agar peserta didik menjadi atlet, melainkan supaya peserta didik dapat mengambil keputusan untuk hidup sehat dan salah satu caranya adalah mengeksplorasi beragam olahraga.

Begitu pula dalam mata pelajaran Matematika, tujuannya bukan agar peserta didik dapat menghafal rumus, dan menyelesaikan permasalahan Matematika di atas kertas, namun agar memiliki keterampilan berpikir dan menggunakan pengetahuan Matematikanya untuk pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perumusan CP disesuaikan dengan framework tersebut.

Pritchett dan Beatty (2015) serta laporan yang ditulis OECD (2018) menekankan bahwa penyederhanaan kurikulum melalui pengurangan konten atau materi pelajaran bukan berarti standar capaian yang ditetapkan menjadi lebih rendah. Sebaliknya, kurikulum berfokus pada materi pelajaran yang esensial.

Materi esensial ini dipelajari dengan lebih leluasa, tidak terburu-buru sehingga peserta didik dapat belajar secara mendalam, mengeksplorasi suatu konsep, melihatnya dari perspektif yang berbeda, melihat keterkaitan antara suatu konsep dengan konsep yang lain, mengaplikasikan konsep yang baru dipelajarinya di situasi yang berbeda dan situasi nyata, sekaligus merefleksikan pemahamannya tentang konsep tersebut.

Pengalaman belajar yang demikian, menurut Wiggins dan McTighe (2005), akan memperkuat pemahaman peserta didik akan suatu konsep secara lebih mendalam dan berkelanjutan.

Pandangan Wiggins dan McTighe (2005) tersebut dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme yang juga menjadi landasan di Kurikulum Merdeka. Oleh karena CP dikembangkan berdasarkan teori konstruktivisme, sedapat mungkin CP mengutamakan kompetensi yang perlu dicapai tanpa mengikat konteks dan konten pembelajarannya.

Berdasarkan kompetensi tersebut, satuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan konteks satuan pendidikan dan relevan dengan perkembangan, minat, serta budaya peserta didik. Maka capaian- capaian dalam dokumen CP perlu dipahami menggunakan kerangka teori yang sama. Istilah “pemahaman” (understanding) dalam CP perlu dimaknai sebagaimana teori Konstruktivisme di bab landasan psikopedagogis.

Pemahaman yang dimaksud dicapai melalui kemampuan mengaplikasikan dan menganalisis suatu konsep. Dengan demikian konsep pemahaman ini berbeda dengan Taksonomi Bloom yang memandang bahwa memahami (understanding – level 2) suatu konsep membutuhkan keterampilan berpikir yang lebih rendah dibandingkan kemampuan mengaplikasikan (applying – level 3) dan menganalisis (analyzing – level 4) konsep (Anderson, Krathwohl, D. R., & Bloom, B. S., 2001).

Perancangan CP ini tidak mengabaikan Taksonomi Bloom yang semula digunakan dalam perancangan KI-KD dalam Kurikulum 2013. Sebaliknya, Taksonomi Bloom ini dianjurkan untuk digunakan ketika guru merancang pembelajaran harian dan asesmen kelas sesuai dengan tujuan pengembangan taksonomi, sebagaimana Anderson dan rekan- rekan (2001, p.7):

Kerangka Taksonomi tidak dapat secara langsung mengarahkan guru apa yang patut dipelajari [peserta didik], namun dapat membantu guru menerjemahkan standar ke dalam hal yang ingin dicapai oleh guru [melalui pengajaran yang dilakukannya], dan dengan memberikan beragam hal yang perlu diperhatikan, Taksonomi [Bloom] dapat memberikan pandangan yang dapat membimbing guru dalam pembuatan keputusan tentang kurikulum.

Anderson dan rekan-rekan (2001) melakukan revisi terhadap Taksonomi Bloom dan secara eksplisit menyatakan bahwa taksonomi tersebut relevan dan membantu untuk digunakan oleh guru dalam pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan, bukan di level standar nasional. Taksonomi Bloom berguna untuk “menerjemahkan standar” ke dalam istilah dan bahasa yang lebih konkret dan operasional untuk digunakan sehari-hari. Dengan demikian, dalam konteks kurikulum nasional di Indonesia, Taksonomi Bloom relevan untuk digunakan guru dalam merancang alur tujuan pembelajaran dan asesmen kelas.


Sumber: Buku Kajian Akademik Kurikulum Merdeka 2024

Loading