8 Landasan Filosofis Kurikulum Merdeka Pada Naskah Akademik

KurikulumMerdeka2024. Naskah Akademik Kurikulum Merdeka pada landasan pengembangan Kurikulum Merdeka membahas tentang landasan filosofis

Kurikulum perlu dikembangkan dengan landasan yang jelas dan kokoh. Menurut Ornstein dan Hunkins (2018) terdapat beberapa landasan utama pengembangan kurikulum, yaitu landasan filosofis, historis, sosiologis,dan yuridis.

Selain itu, perkembangan teori dan wacana ilmu pengetahuan, terutama ilmu pendidikan, perlu juga dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum.

Kurikulum Merdeka dikembangkan mengacu pada beberapa landasan atau dasar pengembangan kurikulum tersebut.

Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum Merdeka

Beberapa pakar, antara lain Dewey, Tyler, dan Goodlad menyatakan bahwa sebelum menyusun kurikulum, harus jelas dulu filosofi pendidikan yang dipegang. Karena filosofi pendidikan menggambarkan tatanan masyarakat ideal yang diidamkan beserta gambaran ideal manusianya .(Ornstein & Hunkins, 2018, pp. 48–49).

Pengembangan Kurikulum Merdeka berlandaskan pada cita- cita kemerdekaan dan falsafah Pancasila yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia yang berdasar pada:

  • Ketuhanan Yang Maha Esa,
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  • Persatuan Indonesia,
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara lebih operasional pandangan filosofi pendidikan dalam rangka pengembangan Kurikulum Merdeka didasarkan pada kerangka pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara (1928) adalah upaya untuk membangun manusia merdeka, yaitu

manusia yang secara lahir atau batin tidak bergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.

Oleh karena itu, pembelajaran perlu diarahkan untuk memerdekakan, membangun kemandirian, dan kedaulatan peserta didik, namun dengan tetap mengakui otoritas guru.

Selain itu, sekolah perlu mewujud sebagai keluarga dan taman yang mengakomodasi keragaman peserta didik (Dewantara, 2004; 2009).

Pendidikan dimaksudkan agar anak didik kelak sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Dewantara, 1962).

Berdasarkan pertimbangan di atas, berikut poin landasan filosofis pengembangan Kurikulum Merdeka:

Landasan filosofis yang Pertama , pendidikan nasional Indonesia mendorong tercapainya kemajuan dengan berpegang dan mempertimbangkan konteks Indonesia, terutama akar budaya Indonesia.

Pendidikan merupakan upaya untuk membangun peradaban umat manusia yang maju dengan tetap mendasarkan dan mempertimbangkan konteks di mana pendidikan tersebut dijalankan.

Peradaban maju tersebut digambarkan dengan capaian ilmu pengetahuan, teknologi, nilai-nilai, dan tradisi yang humanis, demokratis, berdaulat, sejahtera, berkeadilan sosial, dan tidak merusak lingkungan hidup (Tilaar, 2012).

Konteks pendidikan yang dimaksud dalam hal ini adalah konteks Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berpegang pada Pancasila dengan segala keunikan dan karakteristik Indonesia, antara lain keragaman budaya, etnis, agama, daerah, tradisi, dan sosialnya (Tilaar, 2015).

Landasan filosofis kedua adalah Holistik. Yaitu pendidikan nasional Indonesia diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang holistik, yang dapat mengoptimalkan potensi diri dengan baik, untuk tujuan yang lebih luas dan besar.

Manusia Indonesia yang diharapkan adalah manusia yang seimbang dan utuh, yakni yang bukan hanya cerdas dan terampil dalam berkehidupan, melainkan juga matang spiritualitasnya, dewasa mentalitasnya, dan kokoh pegangan nilai-nilai dan moralnya (Miller, 1992).

Dengan kata lain, sehat lahir dan batin, merdeka dan berdaulat lahir dan batinnya.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, maka manusia Indonesia juga diharapkan dapat terlibat dan berkontribusi dalam membangun bangsa dan juga dunia.

Manusia sebagai subjek belajar juga dipahami sebagai beragam bakat, minat, kebutuhan, dan kemampuannya (Taufikin et al., 2021).

Ketiga, pendidikan nasional Indonesia responsif terhadap perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, dan harus berkontribusi untuk masyarakat (Dewey, 1966).

Hal itu karena perubahan-perubahan tersebut meniscayakan terjadinya perubahan pengetahuan dan keterampilan hidup yang diperlukan oleh peserta didik untuk dapat hidup dan berkontribusi bagi masyarakat luas (Howlett, 2013; Ylimaki, 2011).

Pendidikan yang tidak terpisahkan dari masyarakat menekankan prinsip kontekstual dan perlunya memasukkan hal-hal penting yang terjadi di masyarakat sebagai hal yang penting untuk dipelajari (Bolt & Swartz, 1997).

Selain itu, pendidikan yang responsif pada perubahan menuntut pendidikan, kurikulum, dan pembelajaran yang fleksibel, mudah diadaptasi atau diperbarui, serta menjadi pendorong transformasi sosial (Schiro, 2013).

Landasan filosofis keempat dalam pengembangan kurikulum merdeka adalah keseimbangan antara penguasaan kompetensi dan karakter peserta didik.

Peserta didik perlu belajar menguasai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai melalui kurikulum (Ornstein & Hunkins, 2018) untuk menjadi manusia yang berbudaya, yang mampu berkontribusi bagi masyarakat dan bahkan dunia.

Dengan demikian terdapat keseimbangan antara penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai (Oates, 2018).

Dalam hal ini, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dipelajari dipahami sebagai kompetensi dan karakter yang diidentifikasi dari realitas hidup masyarakat dan perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik.

Penguasaan kompetensi dilakukan melalui pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, baik dengan menekankan penguasaan esensi mata pelajaran tertentu maupun lintas mata pelajaran (Bignall, 2018).

Seiring pembelajaran yang tidak sekadar bertumpu pada mata pelajaran, maka sumber belajar juga meluas bukan hanya yang terdapat di lingkungan sekolah, melainkan juga di luar lingkungan sekolah, termasuk juga lingkungan belajar virtual. (Baeten et al., 2010;Holmes & Gardner, 2006; McPhail, 2019).

Landasan filosofis kelima adalah keleluasaan satuan pendidikan. Keleluasaan satuan pendidikan dalam menyusun kurikulum dan mengimplementasikannya.

Pengakuan terhadap keragaman peserta didik dan konteksnya dijalankan dengan tetap menentukan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai esensial dan perenial sebagai acuan utama dalam mengimplementasikan kurikulum di sekolah. (Dewantara, 2004, 2009; Kneller, 1971; Ornstein & Hunkins, 2018).

Dengan demikian, tetap terdapat acuan kompetensi yang jelas atau capaian pembelajaran yang ditargetkan, namun acuan tersebut perlu dijabarkan sesuai dengan konteks daerah, sekolah, dan juga peserta didik.

Oleh karena itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum operasional yang kontekstual (Bolt & Swartz, 1997).

Termasuk juga mengembangkan muatan lokal dan pembelajaran yang eksploratif dan bermakna.

Walau begitu juga harus disadari bahwa pendidikan tidak lepas dari konteks global, sehingga wawasan kehidupan internasional juga harus dipelajari agar dapat mendorong potensi peserta didik berkontribusi bagi kehidupan yang lebih luas. (Gunesch, 2004; Hansen, 2008, 2010).

Landasan filosofis keenam dalam pengembangan kurikulum merdeka adalah layanan diferensiasi. Yaitu pembelajaran perlu melayani keberagaman dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik.

Peserta didik dipahami sebagai pusat pembelajaran yang memiliki keragaman bakat, minat, kemampuan dalam belajar, dan latar sosial (Dewantara, 2004, 2009).

Dengan demikian, pembelajaran yang tepat adalah yang dapat melayani keragaman tersebut agar proses dan hasilnya optimal (berdiferensiasi), terutama menyesuaikan tingkat perkembangan belajar peserta didik. (George, 2005; van Geel et al., 2019).

Pengakuan keragaman peserta didik ini juga berkonsekuensi bahwa pada tingkat tertentu peserta didik dibolehkan untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya sebagai bekal untuk studi lanjut maupun berkehidupan di masyarakat.

Pendekatan pembelajaran perlu mengombinasikan pembelajaran personal yang lebih berupaya memenuhi kebutuhan belajar peserta didik dengan pembelajaran umum untuk mencapai kompetensi esensial. (Kneller, 1971; Ornstein & Hunkins, 2018).

Di sini, perlu penguatan student agency atau kemampuan dan kedaulatan peserta didik dalam menentukan pembelajarannya sendiri secara bertanggung jawab. (Klemencic, 2015; Tsai et al., 2020).

Landasan filosofis ketujuh adalah pembelajaran interaktif dan nyaman. Pelaksanaan pembelajaran diselenggarakan dalam suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi Peserta Didik untuk berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.

Sekolah dan ruang-ruang kelas merupakan lingkungan belajar bagi guru dan peserta didik, bahkan orang tua, dan masyarakat (Baeten et al., 2010).

  • Bukan sekadar tempat transfer dan pewarisan pengetahuan dan nilai-nilai saja, melainkan juga produksi dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, juga nilai-nilai dan budaya unggul.
  • Sebagai ruang belajar (Navis, 1996), sekolah dan kelas berperan dalam membangun kesadaran kritis peserta didik, sehingga peserta didik tidak hanya menerima begitu saja pengalaman dan pengetahuan sehari-hari yang mereka alami, melainkan mampu menelaah atau mengonfirmasinya secara ilmiah.
  • Dengan demikian, sekolah potensial menghasilkan para penggerak perubahan (Schiro, 2013; Shor, 1992).

Landasan filosofis Kedelapan dalam pengembangan kurikulum merdeka adalah otoritas guru. Guru memiliki otoritas dalam mendidik peserta didik dan mengimplementasikan kurikulum dalam pembelajaran.

Oleh karena itu, guru perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam memahami peserta didik, konteks sosialnya, termasuk berdaulat dan mampu mengambil keputusan pedagogik dan profesional dalam mengoptimalkan proses dan hasil belajar bagi peserta didik.

Di sini teacher agency perlu didukung oleh pendidikan guru yang berkualitas, pengalaman personal dan profesional yang relevan, juga lingkungan belajar yang baik (Priestley et al., 2015)


Sumber: Buku Kajian Akademik Kurikulum Merdeka 2024

Loading